UNAIR NEWS – Pemerintah kembali membuka keran ekspor pasir laut setelah Kementrian Perdagangan menerbitkan dua peraturan mengenai ekspor. Kedua peraturan itu berupa Permendag Nomor 20 Tahun 2024 tentang Barang yang Dilarang untuk Diekspor dan Permendag Nomor 21 Tahun 2024 tentang Kebijakan dan Pengaturan Ekspor.
Menteri Perdagangan, Zulkifli Hasan, berdalih bahwa dua aturan yang terbit oleh kementeriannya itu merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Ia menegaskan bahwa Kementerian Perdagangan hanya menjalankan tupoksi. Di sisi lain, Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, membantah pemerintah membuka keran ekspor pasir laut. Menurutnya, peraturan yang pemerintah buat hanya mengizinkan ekspor sedimen yang mengganggu alur jalan kapal.
Tuai Polemik
Kebijakan pemerintah memberikan izin ekspor pasir laut pun menuai berbagai pro dan kontra. Aktivis lingkungan menilai ekspor pasir laut akan memberikan banyak dampak buruk bagi lingkungan. Dr Phil Siti Rokhmawati Susanto, S IP MIR dosen Hubungan Internasional, akan membagikan opininya.
“Kegiatan penambangan di Indonesia selalu menimbulkan polemik karena supremasi hukum di sini masih belum sepenuhnya clear. Bisa saja di level atas sudah clear tapi implementasi di lapangan masih penuh tantangan,” katanya, Senin (23/09/2024).
Ia menyoroti konsekuensi negatif dari pemberian izin tambang berupa munculnya penambangan liar di sekitar area. Konsekuensinya, mereka yang terlibat dalam penambangan liar akan lebih rentan mengalami kecelakaan karena minimnya alat perlindungan diri. “Izin konsesi biasanya hanya diberikan kepada perusahaan. Jadi kadang-kadang masyarakat sekitar merasa ada ketimpangan. Mereka merasa kok tidak boleh nambang sedangkan perusahaan mendapatkan izin nambang,” sambungnya.
Konflik Kepentingan
Dalam jangka panjang, khawatirnya pemberian izin tambang juga diberikan ke organisasi masyarakat (ormas). Menurutnya, pemberian izin tambang ke ormas akan menciptakan konflik kepentingan di sekitar area penambangan. “Katanya kita kan semakin konsisten dengan tujuan keberlanjutan atau SDGs. Kok ini pemerintah mengizinkan ekspor pasir laut. Jadi ada sebuah kondisi di mana politik lingkungan di negara kita semakin lama semakin mengalami penurunan,” ucapnya.
Ia pun mempertanyakan apakah penambangan pasir laut akan memberikan kesejahteraan bagi masyarakat lokal atau justru hanya menguntungkan segelintir pihak. “Kalau kita ngomongin tentang uang, apa pun usaha ekstraktif (tambang) pasti memberikan keuntungan. Tapi sejauh mana uang tadi memberikan manfaat bagi masyarakat Indonesia. Jangan-jangan konsesi yang diberikan hanya menguntungkan beberapa pihak saja tanpa memberikan efek trickle down,” ungkapnya.
Salah satu negara yang seringkali mengimpor pasir laut adalah Singapura. Negara itu membutuhkan pasir laut untuk memperluas daratannya melalui reklamasi. “Kalau kita bicara berdasarkan UNCLOS, batas wilayah kalau sudah disepakati kan sifatnya fixed. Misalkan Singapura mengimpor pasir laut dari Indonesia. Kalau pertanyaannya apakah akan memperbesar teritori mereka, tentu iya. Tapi apakah itu akan memperluas ZEE Singapura, saya rasa tidak,” jelasnya.
Pada akhir, dosen FISIP UNAIR itu menegaskan pasir laut yang milik Indonesia harus mendapatkan penjagaan. Pasir laut berperan penting untuk melindungi ekosistem laut dan daratan Indonesia dari dampak perubahan iklim. Pemberian izin tambang pasir laut akan memberikan konsekuensi jangka panjang bagi Indonesia.
Penulis: FISIP UNAIR
Editor: Yulia Rohmawati