Universitas Airlangga Official Website

Social Inequality dan Cara Mengatasinya dalam Padangan Hukum

E Joeni Arianto Kurniawan SH MA PH D dalam Seminar Hukum dan Keadilan Dalam Keberagaman.
E Joeni Arianto Kurniawan SH MA PH D dalam Seminar Hukum dan Keadilan Dalam Keberagaman.

UNAIR NEWS – Fakultas Hukum (FH) Universitas Airlangga (UNAIR) telah mengadakan Seminar dengan tema “Hukum dan Keadilan Dalam Keberagaman” dengan E Joeni Arianto Kurniawan SH MA PH D sebagai pembicara. Seminar itu terlaksana pada Selasa (15/8/2023) secara hybrid yaitu offline di Ruang Pusat Studi Gedung C Fakultas Hukum (FH) Kampus B Dharmawangsa dan online melalui zoom. Topiknya adalah social inequality.

Joeni selaku pembicara dan Director of Center for Legal Pluralism Studies (CLeP) Fakultas Hukum (FH) Universitas Airlangga (UNAIR) mendiskusikan dan mengkolaborasikan isu keberagaman dan bagaimana menghadirkan hukum yang adil di tengah adanya keberagaman sosial. 

“Saya ingin mencoba membahas mengenai konsep keadilan dan keadilan sosial itu berbeda dan apa yang membedakan antara keduanya,” jelasnya. 

Beliau menjelaskan bagaimana hukum diasumsikan setara bagi semua orang, tetapi masyarakat secara struktural tidak setara. 

Dapat diperlihatkan pada perbedaan kepemilikan hak milik atas tanah di Indonesia. Contohnya Etnis Tionghoa yang tidak diperbolehkan untuk memiliki hak tanah di DIY, walaupun warga negara Indonesia.  

Dengan itu, keberadaan etnis berujung pada ketidaksetaraan hukum. Padahal dalam realitas sosial masyarakat itu penuh dengan ketimpangan dan keberagaman. 

Contoh lainnya pada kemampuan setiap orang untuk mengakses kebutuhan juga berbeda – beda. Terdapat orang yang mendapatkan berlebih – lebih akan hal yang dibutuhkan dan ada pula yang kekurangan untuk memenuhi kebutuhan. 

E Joeni Arianto Kurniawan SH MA PH D dalam Seminar Hukum dan Keadilan Dalam Keberagaman.

Faktor-Faktor Social Inequality 

Terdapat beberapa faktor social inequality untuk mengakses justice, yaitu perbedaan akses sumber daya ekonomi, perbedaan latar belakang (budaya, agama, suku, ras), perbedaan gender dan seksualitas, dan  penyandang disabilitas.

“Contohnya ketika melamar pekerjaan pasti terdapat keterangan harus S1, lalu terdapat pilihan gender perempuan atau laki – laki. Lalu bagi transpuan pasti tidak bisa untuk mendapatkan pekerjaan di sektor formal,” tambahnya. 

Yang mana, mereka “transpuan” akan diidentifikasikan ke arah pekerjaan prostitusi dan berbau negatif. 

“Pendekatan hukum sendiri adalah positivistik yang harusnya berbau positif. Akan tetapi implementasinya hanya berpatok pada undang – undang yang berlaku. Dengan begitu Yuris akan terpacu pada undang – undang, karena tidak diatur dan tidak ada undang – undang yang mengatur tentang hal tersebut,” sahutnya. 

Sedangkan untuk memberikan treatment juga harus disesuaikan dengan kebutuhan subject itulah dinamakan dengan affirmative action alias diskriminasi positif. 

Mengatasi Ketimpangan Sosial 

Cara mengatasi Ketimpangan sosial dengan menggunakan konsep Social Justice, yaitu: 

Politic of Redistribution, Politic of Recognition, Politic of Accommodation, Politic of Affirmation

Selain itu, terdapat pendekatan – pendekatan untuk melihat dan mengatasi ketimpangan sosial, yaitu pendekatan multikulturalisme dan interkulturalisme. Dua pendekatan ini memiliki perbedaan sebagai berikut. 

Multikulturalisme berjalan dari prinsip right to self-determination (orang bebas mengekspresikan identitas budayanya), right of recognition (orang berhak diakui identitas budayanya), dan right of accommodation (orang – orang berhak mendapatkan haknya sesuai dengan kebutuhannya masing – masing). 

Interkulturalisme menjelaskan bahwasannya antar identitas budaya tidak hanya perlu diakui tetapi perlu juga untuk dijembatani. 

Penulis: Nokya Suripto Putri 

Editor: Feri Fenoria