UNAIR NEWS – Penggunaan energi berbasis fosil masih mendominasi di Indonesia, sekalipun Indonesia telah menjadi anggota dari Paris Agreement. Lanskap ini harus segera diubah sebagai bentuk komitmen dari perjanjian tersebut untuk mitigasi krisis iklim, yakni transisi menuju sumber energi yang terbarukan. Dalam webinar yang digelar oleh Society of Renewable Energy (SRE) UNAIR, Program Director Trend Asia Ahmad Ashov Birry akan membahas terkait kendala realisasinya di Indonesia.
Ashov, sapaan karibnya, menekankan bahwa upaya transisi tersebut harus berkeadilan dan berkelanjutan. Hal ini dikarenakan bahwa industri ekstraktif seperti batubara acapkali melahirkan konflik di masyarakat dan bencana alam. Sehingga, pemerintah harus bisa menjamin bahwa sumber energi masyarakat Indonesia tidak merugikan orang lain.
“Dari situ juga, transisi kita seharusnya tidak menuju energi baru dan terbarukan, melainkan energi terbarukan. Energi baru seperti nuklir dan co-firing PLTU menggunakan biomassa mungkin minim emisi, tetapi apakah ia berkeadilan dan berkelanjutan? Bahaya terhadap masyarakat dan lingkungan masih ada, jadi rentan sekali itu akan jadi solusi palsu,” ujar alumni UI itu.
Menurut Ashov, Indonesia sejatinya memiliki kemampuan ekonomi untuk mengusahakan transisi energi terbarukan tersebut. Ia menambahkan bahwa proyeksi 100% energi terbarukan per 2045 itu tidak mustahil. Hal ini dikarenakan terjadinya penurunan harga yang drastis terkait teknologi energi terbarukan dalam satu dekade terakhir. Tak hanya itu, negara seharusnya memperoleh kekayaan dalam jumlah besar dari industri ekstraktif, yang dapat dijadikan modal untuk transisi dan redistribusi kekayaan.
“Namun hal tersebut terkendala oleh aspek ekonomi-politik. Jajaran pemerintahan kita masih banyak diisi oleh pengusaha batubara, yang berdampak pada lahirnya berbagai konflik kepentingan. Konflik kepentingan tersebut melahirkan komitmen pemerintah yang kontradiktif dalam mengusahakan transisi. Padahal, keharusan transisi itu sudah urgen,” ujar aktivis lingkungan itu.
Kontradiktif komitmen tersebut menurut Ashov, terlihat dari berbagai kebijakan energi yang tumpang tindih – sehingga muncul ketidakpastian hukum. Ia juga mengkritisi jumlah pemberian subsidi pada energi berbasis fosil yang masih besar, contohnya adalah pembebasan royalti untuk hilirisasi batubara. Hal tersebut juga semakin menjadikan tarif energi terbarukan di Indonesia tidak menarik untuk industri.
“Belum lagi dalam tambang energi fosil, seringkali partisipasi dan kebermanfaatan masyarakat itu diabaikan. Jadi ada tiga pilar yakni pemerintah, korporasi, dan masyarakat. Pemerintah sama korporasi hubungannya terlalu dekat, dan masyarakat hanya menjadi penonton saja,” tekannya.
Oleh karena itu, Ashov mengatakan bahwa dalam transisi yang berkeadilan dan berkelanjutan, partisipasi publik itu nomor wahid. Pembangunan perekonomian hijau harus demokratis dan terdesentralisasi, sehingga efektif. Tak hanya itu, Ashov mengatakan bahwa pemerintah harus segera memberikan moratorium terhadap pembangunan PLTU baru, serta melakukan phase-out PLTU yang telah beroperasi sesegera mungkin.
Webinar SRE UNAIR digelar pada Sabtu (30/4/2022) dengan mengangkat judul topik “Potensi dan Realita EBT: Sudahkah Senada.” Narasumber lain dalam kegiatan tersebut adalah Pakar EBT ITB Dr. Eng. Pandji Prawisudha.
Penulis: Pradnya Wicaksana
Editor: Nuri Hermawan