Universitas Airlangga Official Website

Staf Khusus Wapres RI: Metode Omnibus Law Sudah Diterapkan di Indonesia Sebelum UU Cipta Kerja

Potret Staf Khusus Wakil Presiden RI Bidang Hukum Prof Dr Satya Arinanto saat mengisi kuliah tamu FH UNAIR. (Foto: Istimewa)

UNAIR NEWS – Program S3 Doktor Ilmu Hukum FH UNAIR pada Jumat siang (28/10/2022) menggelar kuliah tamu dengan mengangkat tema “Dinamika UU Cipta Kerja.” Narasumber yang dihadirkan adalah Staf Khusus Wakil Presiden RI Bidang Hukum Prof Dr Satya Arinanto. Satya menjelaskan bahwa omnibus law merupakan bentuk metode dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Peraturan yang dibuat dengan metode ini nantinya akan menyatukan berbagai macam permasalahan (terkadang permasalahan yang tidak berkaitan) dalam satu produk hukum.

Satya menuturkan bahwa metode omnibus law ditempuh oleh para legislator untuk alasan efisiensi dalam reformasi hukum. Perbincangan mengenai ini melejit ke ruang publik Indonesia pasca UU 11/2020 tentang Cipta Kerja diformulasi dan disahkan pada 2020 silam. Hal ini karena legislasi ini secara eksplisit dibuat dengan metode omnibus law. Namun, Satya menuturkan bahwa metode ini sudah digunakan beberapa kali di Indonesia. Hanya saja, tidak diomongkan dan diacukan secara eksplisit disusun dengan omnibus law.

“Banyak hukum yang disahkan waktu Orde Lama itu sifatnya perampingan hukum dari zaman kolonial. 83 peraturan nasional yang dikeluarkan itu mencabut 199 produk hukum kolonial. Begitu pula pasca Reformasi, dikeluarkan Ketetapan MPR RI Nomor I/MPR/2003 yang meninjau ulang keberlakuan semua Tap MPR sejak tahun 1960,” ujar Ketua Dewan Guru Besar FH UI itu.

Undang-Undang seperti UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah juga menggabung tiga materi muatan sekaligus, yakni terkait pemerintahan daerah, pemerintahan desa, dan pemilihan kepala daerah. Hal yang serupa juga terwujud dalam UU 7/2017 tentang Pemilu. Dari pemaparannya, maka Satya tidak memahami mengapa pengadopsian omnibus law dalam UU Cipta Kerja begitu kontroversial karena secara de facto sudah diterapkan beberapa kali.

“Dalih bahwa metode tersebut tidak diatur secara eksplisit dalam UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan itu kesalahan legislator. Kalau dulu diterapkan, kenapa sekarang ditolak? Bila kita mengacu ke Mahkamah Konstitusi, hal tersebut hanyalah kecacatan formil. Secara materiil, tak ada gugatan UU Cipta Kerja secara materiil yang dikabulkan. Berarti legislasi sudah berada di jalan yang tepat,” papar Guru Besar Hukum Tata Negara itu.

Satya mempertahankan bahwa penggunaan metode omnibus law dalam UU Cipta Kerja itu sebagai langkah yang tepat. Hal ini bahwa reformasi hukum untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi itu amat multi-sektoral, dan kondusifitas iklim investasi itu ditentukan oleh hukum yang tidak berbelit. Oleh karena itu, Satya menegaskan bahwa pemerintah akan dengan seksama menaati putusan MK.

“Kami sudah mengesahkan UU 13/2022 yang merupakan perubahan kedua dari UU 12/2011, dimana disitu mengatur terkait omnibus law. Kedepannya, kami akan perbaiki UU Cipta Kerja di sektor ketenagakerjaan dan jaminan produk halal. Paling lambat akhir 2023 akan konstitusional kembali,” tutupnya.

Penulis: Pradnya Wicaksana

Editor: Nuri Hermawan