Universitas Airlangga Official Website

Stunting pada Anak di Bawah Dua Tahun di Indonesia: Apakah Pendidikan Ibu Penting?

Foto by Tim Peneliti

Pertumbuhan anak sangat ditentukan oleh asupan nutrisi dan pencegahan infeksi berulang pada 1000 hari pertama kehidupan. Salah satu indikator untuk mengevaluasi pertumbuhan anak adalah dengan mengukur tinggi badan menurut usia. Apabila panjang atau tinggi badan tidak sesuai dengan pertumbuhan rata-rata anak seusianya (lebih dari minus dua standar deviasi WHO) maka dapat dikategorikan sebagai kondisi gagal tumbuh atau stunting. Banyak masyarakat yang masih menganggap stunting berkaitan dengan faktor genetik, sehingga mereka tidak melakukan intervensi apapun sebagai upaya pencegahan.

Secara global, stunting mempengaruhi tumbuh kembang sekitar 162 juta anak balita. Stunting memiliki asosiasi jangka panjang pada individu, termasuk penurunan kemampuan fisik, kognitif, dan peningkatan risiko penyakit degeneratif. Pada anak di bawah dua tahun, kondisi stunting akan memberikan dampak lebih buruk utamanya pada perkembangan kognitif ketika mereka memasuki masa kanak-kanak dan remaja. Ketika dewasa, mereka akan menurunkan siklus malnutrisi pada generasi selanjutnya, yang mana kondisi ini tidak hanya menghambat pembangunan sektor kesehatan, tetapi juga sektor lainnya.

Indonesia merupakan negara dengan prevalensi stunting tertinggi ketiga se- Asia Tenggara. Prevalensi rata-rata stunting balita di Indonesia dari tahun 2005 hingga 2017 sebesar 36,4%. Meskipun tren angka stunting di Indonesia dari tahun ke tahun mengalami penurunan, langkah pencegahan stunting masih sangat perlu untuk dilakukan. WHO mengkategorikan stunting sebagai masalah gizi kronis (kondisi yang berlangsung lama) akibat kombinasi kompleks faktor keluarga, lingkungan, sosial, dan budaya. Intervensi spesifik pada setiap faktor merupakan strategi pencegahan yang perlu digencarkan.

Salah satu karakteristik demografi yang menjadi fokus pencegahan stunting adalah pendidikan ibu. Pendidikan merupakan faktor kritis yang tidak secara langsung mempengaruhi status gizi, melainkan sebagai determinan pola asuh anak. Hasil penelitian di Vietnam menjelaskan pentingnya faktor pendidikan ibu, yang mana ibu dengan pendidikan rendah memiliki risiko lebih tinggi melahirkan anak stunting dibandingkan ibu dengan pendidikan tinggi. Hal ini melatarbelakangi pentingnya analisis hubungan antara tingkat pendidikan ibu dan stunting pada anak di bawah dua tahun di Indonesia.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa proporsi balita stunting secara nasional di Indonesia adalah 20,1%. Proporsi balita stunting terendah sebesar 13,6% terdapat di Provinsi Bali; sedangkan provinsi dengan proporsi stunting tertinggi adalah Provinsi Kalimantan Tengah sebesar 30,1%. Penelitian ini juga menemukan bahwa potensi stunting lebih banyak terjadi pada anak laki-laki dengan asupan nutrisi yang buruk. Ibu hendaknya memahami bahwa penambahan usia anak tentunya diikuti dengan peningkatan kebutuhan nutrisinya. Anak yang tidak diberi asupan nutrisi sesuai usia secara signifikan lebih mungkin mengalami stunting daripada yang diberi nutrisi tepat. Selain itu, potensi stunting pada anak laki-laki berkaitan dengan seks dan hormon perangsang folikel yang berperan pada pertumbuhan lebih lanjut, sebagaimana dikonfirmasi oleh berbagai penelitian sebelumnya.

Berdasarkan karakteristik tempat tinggal, ibu di daerah pedesaan memiliki kemungkinan lebih tinggi untuk memiliki anak stunting. Kondisi ini dikaitkan dengan kemiskinan makanan, kesadaran yang rendah akan kesehatan anak, tingginya pemanfaatan dukun bayi tradisional, dan tidak memadainya jumlah tenaga kesehatan terampil. Hal ini menunjukkan bahwa daerah pedesaan membutuhkan lebih banyak perhatian teknis dan dukungan keuangan untuk meningkatkan kepemimpinan dan pembangunan kapasitas di sektor kesehatan.

Berdasarkan status pernikahan, anak dengan orang tua yang berstatus menikah memiliki risiko stunting yang lebih rendah dibandingkan anak dari orang tua yang tidak pernah menikah atau telah bercerai. Selain itu, status pekerjaan ibu juga menjadi salah satu faktor risiko stunting pada anak di bawah dua tahun. Penelitian terbaru di Ethiopia menemukan hasil serupa yang menyatakan bahwa ibu rumah tangga memiliki lebih banyak waktu untuk merawat anak sehingga kemungkinan anak akan stunting lebih rendah dibandingkan ibu pekerja. Pada negara ini, titik kritis penurunan stunting ada pada perbaikan sektor nutrisi yang spesifik dan sensitif, peningkatan akses perawatan kesehatan, sanitasi, dan pendidikan.

Banyak penelitian telah melaporkan bahwa pendidikan yang lebih baik merupakan penentu kuat dalam meningkatkan pemahaman mengenai risiko dan manfaat perilaku kesehatan. Sebaliknya, beberapa penelitian juga melaporkan pendidikan yang buruk sebagai penghalang untuk mencapai derajat kesehatan yang lebih baik. Pada rumah tangga, pendidikan ayah dan ibu merupakan faktor penting tercapainya tumbuh kembang anak secara optimal. Ibu memiliki peran dalam menentukan praktik pemberian makan yang sehat, termasuk menyusui. Sedangkan ayah dengan pendidikan yang lebih tinggi dikaitkan dengan perilaku pengasuhan protektif, termasuk pemberian kapsul vitamin A, imunisasi anak lengkap, sanitasi yang lebih baik, dan penggunaan garam beryodium.

Melalui penelitian ini, dapat dikonfirmasi bahwa semakin rendah tingkat pendidikan ibu, semakin tinggi kemungkinan ibu memiliki anak stunting di bawah usia dua tahun. Oleh karenanya, pemerintah perlu melakukan intervensi yang berfokus pada ibu dari anak di bawah dua tahun dengan pendidikan yang buruk untuk mengurangi proporsi stunting. Sasaran yang lebih spesifik adalah ibu balita yang tinggal di pedesaan, tidak pernah menikah, dan bekerja.

Penulis: Ratna Dwi Wulandari, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Airlangga

Sumber: Laksono AD, Wulandari RD, Amaliah N, Wisnuwardani RW (2022) Stunting among children under two years in Indonesia: Does maternal education matter? PLoS ONE 17(7): e0271509 Link Artikel: https://journals.plos.org/plosone/article?id=10.1371/journal.pone.0271509