UNAIR NEWS – Museum Pendidikan Kota Surabaya menjadi saksi semangat baru bagi musisi jalanan, Jumat (30/5/2025). Dalam kegiatan bertajuk Suara Resonance yang digagas oleh mahasiswa Magister Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Airlangga (UNAIR) para musisi jalanan diberikan ruang untuk belajar, berjejaring, dan menunjukkan potensi mereka.
Ketua pelaksana, Muhammad Tedy Yusuf, menjelaskan bahwa kegiatan ini lahir dari kegelisahan terhadap minimnya dukungan bagi musisi jalanan di tengah derasnya arus digitalisasi.
“Di balik setiap lagu yang mereka mainkan di jalanan, ada potensi besar yang belum tergali. Melalui Suara Resonance, kami ingin menghadirkan wadah yang edukatif, apresiatif, dan kreatif,” ujar Tedy dalam sambutannya.
Ia menambahkan, timnya turun langsung ke lapangan dan akhirnya menjaring lima musisi jalanan untuk mengikuti rangkaian kegiatan. Tedy berharap Surabaya bisa mencontoh Yogyakarta, yang telah memberi ruang dan dukungan nyata bagi musisi jalanannya.

Digitalisasi, Branding, dan Tantangan Masa Kini
Prof Dr Gancar C Premananto SE M Si, selaku Ketua Departemen Manajemen UNAIR, menegaskan bahwa kegiatan ini merupakan bagian dari Project-Based Learning (PBL) dalam mata kuliah Etika Bisnis dan Creating Shared Value.
“PBL ini melibatkan juga mahasiswa asing dari Yaman, Arab Saudi, dan Palestina. Harapannya mahasiswa tak hanya belajar teori, tapi juga praktik langsung membina komunitas. Sekarang adalah era digital, kalau mereka tidak masuk ke sana, mereka akan tertingggal,” ujarnya.
Pihaknya menyinggung perlunya diferensiasi dalam menghadapi tantangan digitalisasi. “Masuk dunia digital bukan soal memiliki alat mahal, tapi soal kreativitas dan konsistensi konten,” tegasnya. Ia berharap kedepan akan ada keberlanjutan program melalui kerja sama media, bahkan pengembangan sesi audisi yang bersifat kelompok.

Inspirasi dari Praktisi dan Suara dari Jalanan
Sementara itu, Edi Hazt, produser musik dan pemilik Nada Musika Studio, memberikan materi seputar personal branding bagi musisi jalanan. “Personal branding bukan soal menjadi orang lain, tapi menjadi versi terbaik dari diri kita sendir,” ujarnya. Ia juga memberi contoh musisi jalanan yang berhasil membangun citra positif di era digital.
Dua musisi peserta, Mahmud dan Wahyu, turut membagikan kisah mereka. Mahmud turun ke jalan karena kehilangan pekerjaan, berharap kemenangan bisa membantu keluarganya dan komunitas musisi di Unesa. Wahyu pun bercerita bahwa pandemi membuat usahanya bangkrut, dan ia ingin membagikan hadiah untuk sesama musisi jalanan.
Suara Resonance menjadi langkah awal dalam membangun ekosistem kreatif yang mendukung musisi jalanan Kota Surabaya dengan semangat kolaborasi dan pembinaan berkelanjutan,
Penulis : Panca Ezza Aisal Saputra
Editor : Ragil Kukuh Imanto