Universitas Airlangga Official Website

Survei Remaja Rentan Mengalami Gangguan Mental, Simak Penjelasan Dosen Psikologi UNAIR

(Ilustrasi: Unsplash)

UNAIR NEWS – Berdasarkan hasil temuan terbaru Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS), menunjukkan 1 dari 20 (5,5 persen) atau 2,45 juta remaja terdiagnosis mengalami masalah gangguan mental dan 1 dari 3 (34,9 persen) setara dengan 15,5 juta remaja memiliki satu masalah kesehatan mental dalam 12 bulan terakhir. 

Menanggapi itu, Dosen Fakultas Psikologi Universitas Airlangga (UNAIR) Margaretha SPsi PGDipPsych GCertEd MSc menjelaskan bahwa gangguan mental dan masalah kesehatan mental merupakan dua hal yang berbeda. Gangguan mental apabila remaja memenuhi seluruh kriteria klinis yang dimaksud sebagai gangguan, sementara remaja yang tidak memenuhi kriteria tersebut namun memunculkan beberapa persoalan maka remaja ini memiliki masalah kesehatan mental.

“Jadi bedanya antara kita sebut sebagai gangguan PTSD (Post Traumatic Stress Disorder) itu kalau sudah full klinis, tapi kalau masih separuh kita sebut masalah kecemasan,” ujarnya dalam program Klinik Psikologi siaran radio Suara Surabaya FM 100, Selasa (8/11/2022).

Menurut Margaretha, permasalahan kesehatan mental remaja harus mendapat perhatian serius. Apalagi terjadi peningkatan jumlah masalah kesehatan mental pada remaja akibat pandemi Covid-19.

Faktor Penyebab

Usia remaja merupakan masa transisi menuju kehidupan dewasa. Dosen psikologi klinis ini mengungkap terdapat jenis gangguan kesehatan mental yang umumnya mulai muncul pada remaja rentang usia 15 hingga 18 tahun menyangkut persoalan orientasi seksual dan gangguan kepribadian. 

“Saat masa transisi memang secara khas ada pergolakan jadi kalau punya masalah tersamarkan dengan proses pergolakan tersebut. Nah, akhirnya yang benar-benar punya persoalan kesehatan mental atau gangguan kesehatan mental tidak tertolong dan berkembang menjadi masalah yang lebih berat,” sambungnya.

Selain faktor usia dan stereotip yang menganggap remaja tidak memiliki masalah dibandingkan orang dewasa, mereka juga terbatas dalam mengakses layanan kesehatan mental karena masih bergantung pada orang tua. Di sisi lain, banyak orang tua yang kurang peka bahkan tidak memberikan bantuan.

Solusi

Peran keluarga sebagai tempat perlindungan anak yang utama harus seiring dengan kesadaran dan kepedulian orang tua terhadap isu kesehatan mental remaja. Ketika keluarga tidak mampu menjalankan peran tersebut, temuan riset I-NAMHS memaparkan sebesar 20 persen dari keluarga akan mencari bantuan di sekolah, tempat ibadah, serta komunitas. 

Maka sekolah harus meningkatkan literasi kesehatan mental kepada pendidik, menyediakan layanan seperti pelajaran pengelolaan stres, serta tidak perlu ragu merekomendasikan siswa ke pihak profesional apabila di luar kemampuan. Saat ini Dinas Pendidikan Kota Surabaya bekerja sama dengan UNAIR sedang melakukan riset mengenai pemetaan implementasi promosi kesehatan mental di berbagai sekolah, terutama jenjang menengah.

“Kalau kita (orang tua dan pendidik, Red) bisa membantu menurunkan jumlah remaja gangguan mental tentu saat dewasa kita juga mengurangi biaya yang harus dikeluarkan untuk mencari pengobatan dan menciptakan masyarakat yang lebih produktif,” pungkasnya.

Penulis: Sela Septi Dwi Arista

Editor: Nuri Hermawan