Industri kreatif berkembang sangat masif di Indonesia karena kemajuan teknologi atau yang biasa di kenal dengan digitalisasi. Pada era 4.0 semuanya serba digital, sehingga mendorong masyarakat untuk beradaptasi menggunakan media digital. Begitu juga di dunia industri kreatif, kemajuan tersebut karena adanya media digital. Di mana semua orang memiliki kesempatan dalam berekspresi dengan memanfaatkan kreativitasnya. Media digital dimanfaatkan untuk menyebarluaskan konten-konten yang bertujuan untuk menghibur, misalnya TikTok, YouTube dan media streaming lainnya. Bahkan saat ini, banyak orang tertarik dengan pekerjaan konten kreator karena sistem bekerja yang fleksibel, bebas dalam mengekspresikan kreativitasnya, potensi penghasilan yang besar dan potensi mendapatkan endorsement serta dapat memberikan pengaruh atau berkesempatan menjadi terkenal.
Gen Z Lebih Tertarik Menjadi Content Creator
Potensi mendapatkan penghasilan yang besar melalui media digital kini dimanfaatkan oleh Gen Z yaitu dengan membuat konten-konten digital. Menurut The 2023 Instagram Trend Report dalam surveynya menunjukkan 64% Gen Z akan memonetisasi konten-kontennya melalui media sosial. Tentunya dalam pembuatan konten harus disesuaikan dengan minat masyarakat, menghibur dan sesuai trend saat itu. Semakin banyak respon masyarakat terhadap konten tersebut, semakin banyak pula konten-konten yang dibuat serupa dan mungkin akan viral menjadi perbincangan warganet.
Hal inilah yang menjadi peran RUU Penyiaran dalam memberikan aturan serta batasan bagi konten kreator agar sesuai dengan norma dan nilai-nilai bangsa Indonesia. Berdasarkan pasal 4 yaitu penyiaran diarahkan demi terwujudnya siaran informatif, mendidik dan menghibur, yang artinya konten atau siaran yang disebarkan kepada masyarakat harus edukatif sekaligus menghibur.
Kendala bagi Pekerja Kreatif
Namun yang menjadi kendala bagi para pekerja kreatif adalah sulitnya menggabungkan antara konten edukatif dengan konten yang menghibur. Sedangkan tidak semua masyarakat Indonesia tertarik terhadap konten edukatif, karena cenderung membosankan. Sehingga saat ini demi mencapai keviralan, konten yang dibuat bersifat negatif untuk mendapatkan atensi dan beragam respon dari netizen. Misalnya konten prank yang disebarluaskan melalui media sosial TikTok, YouTube, Instagram dan lainnya.
Konten prank atau berbuat iseng kepada subjek yang ditujukan memberikan dampak negatif kepada masyarakat. Terutama bagi anak-anak yang mana saat ini sangat mudah mengakses semua media digital. Selain itu, masalah lain bagi RUU penyiaran adalah tidak adanya batasan serta aturan yang jelas bagi media digital yang lain. Namun pembatasan penyiaran pada televisi berlangsung cukup ketat.
Padahal pengguna media digital saat ini berasal dari berbagai kalangan usia, dimulai dari anak-anak bahkan anak usia dini sudah mulai beraktivitas menggunakan media digital, contohnya adalah YouTube yang menjadi solusi utama bagi ibu-ibu saat anak sedang menangis. Sehingga televisi mulai ditinggalkan dan tidak ada lagi kelompok penonton streaming ataupun penonton televisi, sebab acara televisi saat ini juga bisa dinikmati melalui platform YouTube, Vidio, ataupun media streaming lainnya. Oleh sebab itu, konten-konten semakin mudah tersebar luas baik konten positif ataupun konten negatif.
RUU Penyiaran
Sama halnya dengan industri film yang sebelumnya dapat dinikmati melalui bioskop, saat ini dapat dinikmati secara streaming. RUU Penyiaran bagi industri film berfungsi sebagai pengontrol untuk memastikan kualitas dan kuantitas perfilman di Indonesia. Namun dengan adanya pembatasan dimana film asing berdasarkan RUU Penyiaran Pasal 51 mengenai pembatasan siaran asing, yang mana dapat menghambat masuknya film-film berkualitas luar negeri ke Indonesia. Selain itu, dengan adanya RUU Penyiaran yang hingga kini masih menjadi pro dan kontra yaitu sistem perizinan yang semakin ketat dikhawatirkan akan mempersulit proses produksi serta distribusi dan meningkatkan biaya produksi film.
Industri Film Mengalami Penurunan
Sedangkan industri film menurut BPI pada tahun 2020 mengalami penurunan dikarenakan covid-19 yang hanya mencapai 19 juta penonton, yang sebelumnya pada tahun 2019 mencapai 51,2 juta penonton. Pertumbuhannya pun cukup lambat yang mana pada tahun 2021 hanya 4,5 juta penonton. Mulai ada kemajuan pada tahun 2023 mencapai 50 juta penonton dikarenakan adanya film yang sangat viral yaitu KKN di Desa Penari. Jika ada pembatasan yang kurang jelas akan berdampak pada kualitas film yang akan di produksi, terutama film lokal.
Tantangannya bagi industri film tanah air saat ini adalah mempertanyakan apakah film yang diproduksi berkualitas atau tidak hanya sekedar mencari popularitas dengan melakukan gimmick untuk menarik penonton. Namun kualitas filmnya masih perlu dipertanyakan. Hal tersebut sempat disindir dalam film Jatuh Cinta Seperti di Film-Film, bahwa agar film tanah air ini ramai perlu adanya gimmick walaupun kualitas filmnya belum tentu bagus sebab untuk mengurangi biaya produksi.
Tetapi justri menjadi angin segar bagi perfilman tanah air sebab semakin banyak produksi film yang berkualitas dengan bermacam-macam genre. Tidak hanya itu, dengan adanya digitalisasi melalui aplikasi streaming mempermudah pemulihan industri film tanah air karena sangat mudah diakses oleh masyarakat dan di era persebaran informasi yang mudah. Akan sangat memungkinkan jika film tersebut mampu mengikat emosi penonton akan viral di media sosial dan mendapatkan respon yang sangat positif dengan meningkatnya jumlah penonton. Namun, berdasarkan RUU Penyiaran Pasal 56 dijelaskan bahwa adanya larangan penayangan siaran yang mengandung pornografi, kekerasan, perjudian, dan lain sebagainya. Sedangkan melalui aplikasi streaming dapat diakses oleh semua usia, yang mana jika tidak dalam pengawasan orangtua, maka dapat diakses oleh anak-anak.
Film Edukasi Seks
Di sisi lain, terdapat film edukasi seks yang dapat memberikan wawasan kepada masyarakat baik bagi para orangtua ataupun remaja, justru mendapatkan banyak kecaman. Contohnya saja film Dua Garis Biru yang sempat dilakukan petisi penolakan penayangan karena dianggap menormalisasikan seks sebelum menikah. Adanya RUU perlu memberikan kejelasan mengenai batasannya antara siaran pornografi ataupun seks edukasi. Sebab film Dua Garis Biru yang berakar pada seks edukasi masih dianggap tabu di masyarakat. Sehingga terdapat misinformasi antara film yang akan ditayangkan dengan stigma masyarakat.
RUU Penyiaran sendiri memiliki pro dan kontra yang mana dapat memiliki dampak positif maupun negatif. Namun yang tetap perlu diperhatikan, sebab industri film di Indonesia menyumbang pendapatan nasional 15,9 triliun rupiah. Sehingga dapat dikatakan bahwa dengan meningkatnya industri film di Indonesia akan berdampak positif terhadap peningkatan ekonomi kreatif di Indonesia (Ulum dkk, 2021). Oleh karena itu, dalam penyusunan RUU perlu adanya pengkajian yang mendalam apakah ini menjadi win-win solution atau justru berdampak buruk. Maka perlu melibatkan lembaga industri film agar memahami secara pasti masalah dan tantangan yang dihadapi. Serta mendapatkan solusi untuk meminimalkan dampak negatif RUU Penyiaran terhadap industri film.
Penulis: Nikmatul Bahril Wahdah