UNAIR NEWS – Menutup serangkaian acara Gemilang Ramadan, Pusat Pengelolaan Dana Sosial (PUSPAS) UNAIR menggelar kajian bersama Prof Dr KH Ahmad Zahro Kamis (28/04/22). Penasihat Ittihad Persaudaraan Imam Masjid Indonesia (IPIM) tersebut hadir untuk memberikan tausiah mengenai Zakat dan Wakaf Kontemporer.
Dalam acara itu juga dihadiri oleh Rektor UNAIR Prof Dr Mohammad Nasih dan beberapa stakeholder beserta wakif atau pemberi wakaf yang berwakaf kepada PUSPAS UNAIR. Dalam sambutannya, Prof Nasih berterima kasih kepada para wakif yang sudah memberikan kepercayaannya kepada UNAIR sebagai Nazhir. Sekaligus mengapresiasi kinerja PUSPAS yang sudah mengelola dana sosial dari para wakif dengan baik sehingga dapat memberikan manfaat khususnya bagi mahasiswa UNAIR yang membutuhkan.
Prof Nasih menyampaikan, harta dalam ajaran islam memiliki fungsi sosial yang sangat strategis di samping fungsi personal. Pasalnya, dalam islam diajarkan bahwa sebagian harta yang dimiliki seseorang terdapat hak dari orang lain di dalamnya.
“Karenanya, kita diwajibkan zakat, dianjurkan sedekah, berinfak dan berwakaf sebagai mekanisme untuk memberikan hak dari saudara kita dalam harta yang kita miliki,” ujarnya.
Prof Nasih menilai, berwakaf dan bersedekah juga merupakan sebuah perjuangan untuk mewujudkan masyarakat yang makmur dan berkeadilan. Sehingga, sambungnya, mari kita mulai untuk membiasakan diri menyisihkan sedikit harta yang kita miliki untuk berinfak dan bersedekah guna meringankan dan membantu saudara kita yang membutuhkan.
Berkenaan dengan zakat kontemporer, KH Zahro menjelaskan saat ini yang sedang berkembang adalah zakat profesi. Dimana profesi apapun yang gajinya mencapai nisab maka diwajibkan untuknya berzakat. Terkait perhitungannya, KH Zahro mengungkapkan bahwa profesi apapun yang jika kumulatif gajinya setahun dapat digunakan untuk membeli emas sebanyak 90 gram maka diwajibkan baginya membayar zakat sebesar 2,5 persen dari gaji setiap bulannya.
“Karena jika kita pikirkan secara rasional, penghasilan petani yang diwajibkan zakat tidak sebesar gaji anggota dewan, direktur atau bahkan dokter. Maka hendaknya yang berpenghasilan besar juga harus berzakat untuk mensucikan dan membersihkan hartanya” terangnya.
Meski masih menjadi perdebatan di kalangan para ulama, Guru Besar Universitas Islam Sunan Ampel Surabaya tersebut menjelaskan bahwa dasar adanya zakat profesi sudah ada di QS Al-Baqarah ayat 267. Dimana pada ayat itu diperintahkan untuk menginfakkan hasil segala “usaha” yang baik dan hasil bumi.
“Dimana kata usaha disini tentu bisa kita maknai sebagai profesi kita saat ini,” tandasnya.
Sedangkan perihal bentuk wakaf yang sedang berkembang saat salah satunya adalah wakaf produktif berupa uang. Ia menjelaskan, saat ini banyak pendapat menentang adanya wakaf dalam bentuk uang. Pasalnya, uang dianggap barang yang sekali pakai dimana hal itu bertentangan dengan syarat dari wakaf yang harus barang yang tidak bisa habis.
Namun, KH Zahro berpendapat bahwa dengan pengelolaan yang tepat, uang dapat menjadi sebuah wakaf. Seperti melalui pendekatan investasi atau bahkan dikelola untuk memakmurkan masjid, beasiswa pendidikan dan banyak lagi.
“Asalkan kita memiliki pandangan yang luas misalnya, jika gunakan untuk beasiswa, penerima beasiswa bisa menimba ilmu karena adanya beasiswa itu. Sehingga, selama si penerima berbuat baik akan terus mengalir pahalanya ke pemberi beasiswa walaupun uangnya sudah habis terpakai,” jelasnya. (*)
Penulis: Ivan Syahrial Abidin
Editor: Binti Q Masruroh