n

Universitas Airlangga Official Website

Tempurung Kelapa Didedikasikan untuk Pasien Kanker Usus Besar yang Kurang Mampu

Skin barrier dari batok kelapa (Foto: UNAIR NEWS)
Skin barrier dari batok kelapa (Foto: UNAIR NEWS)

UNAIR NEWS – Dokter penemu skin barrier dari tempurung kelapa, Dr. Vicky S Budipramana, dr., SpB., KBD, termasuk sosok yang peduli dengan pasiennya. Dulu, skin barrier tempurung kepala buatannya diproduksi sendiri lalu diberikan kepada pasien secara cuma-cuma. Pertimbangannya, batok kelapa bisa didapatkan secara gratis dari pasar.

“Tapi lama kelamaan ndak bisa begitu. Sekarang mesti beli kelapa utuh. Satu batok bisa dibuat jadi  empat sampai lima produk. Pasien cukup mengganti ongkos pembuatan dan bahannya saja, murah tidak lebih dari lima ribu rupiah,” jelasnya.

Namun demikian, murah bukan berarti diminati banyak orang. Ia mengakui tidak semua pasiennya mau menggunakan skin barrier batok kelapa. Jika pasien tersebut mampu, maka mereka lebih memilih menggunakan colostomy bag.

Produk colostomy bag karayagam buatan pabrik ini diklaim lebih nyaman digunakan. Tinggal ditempel di permukaan kulit, tanpa harus menggunakan sabuk atau tali elastis. Produk ini juga memiliki kemampuan daya serap tinggi tapi hanya bisa digunakan selama beberapa hari. Hanya saja, produk tersebut mesti didapat dengan harga cukup mahal.

“Penggunaan batok kelapa memang spesifik untuk pasien kurang mampu dan tinggal di daerah periferi. Bayangkan, kalau mereka harus membeli yang mahal, satu kantong untuk penggunaan 3-4 hari saja dikalikan Rp 80ribu. Sebulan sudah habis berapa biayanya? Apalagi mereka orang desa, mau beli di mana? Karena persediaan colostomy bag hanya ada di perkotaan saja,” jelasnya.

Lain halnya jika batok kelapa. Selain bahannya mudah didapat, batok kelapa ternyata memiliki kemampuan daya serap yang tinggi dan perawatannya mudah. Perawatannya mudah. Jika kantong stoma sudah penuh dengan cairan ekskreta, batok kelapa bisa dilepas dan dicuci. Sisa kerak yang menempel di permukaan batok bisa disikat sampai bersih, kemudian dikeringkan di bawah sinar matahari selama 7 jam atau dioven 130 derajat selama 20 menit. Setelah itu dapat digunakan berulang kali seumur hidup.

Keduanya memang memiliki kekurangan dan kelebihan. Sebut saja karayagam. Dalam kondisi kulit yang masih lecet dan basah, karayagam tidak bisa digunakan. Alhasil, mau tidak mau pasien harus menggunakan batok kelapa sementara waktu sampai kondisi kulitnya membaik.

Sedangkan batok kelapa, hanya penggunaanya saja yang dianggap kurang nyaman, karena dinilai kurang praktis dan musti menggunakan tali elastis. Namun bagi pasien kurang mampu, itu saja sudah sangat membantu. Tanpa mengeluarkan biaya lebih besar, kulit mereka aman dari iritasi, tanpa mengganggu aktivitas mereka.

Teknik pemanfaatan batok kelapa menjadi skin barrier tampaknya hanya ada di Indonesia dan tidak menutup kemungkinan di beberapa wilayah tropis lainnya.

Agar bisa diproduksi, tentu dibutuhkan sejumlah persyaratan. Pengalamannya dalam memperjuangkan hak paten dilaluinya dengan cukup berliku. Jauh sebelum hak paten diperjuangkan, ia melakukan penelitian seputar potensi batok kelapa terlebih dulu, dan kemudian berhasil masuk jurnal internasional.

Selanjutnya, tahun 2008 ia mencoba mengurus hak paten. Namun usahanya memperjuangkan hak paten sempat terhalang, karena dalam proses paten pihak tersebut menelusuri, ide hak patennya sama dengan hasil penelitian yang sudah ada di dalam jurnal, sehingga dianggap tidak orisinal lagi. Setelah melalui usaha yang cukup keras, inovasinya berhasil disetujui pada tahun tahun 2012.

Menurutnya, angka prevalensi kanker usus meningkat setiap tahun.  Diperkirakan setiap minggu, Instalasi Rawat Darurat RSUD Dr. Soetomo menerima puluhan pasien baru kanker usus besar. Banyak dari mereka berasal dari luar kota, tinggal di pedesaan.

Bahkan, ia mengajarkan kepada para pasien bagaimana cara membuat skin barrier dari batok kelapa. Tapi ternyata tak semua orang bisa membuat.

“Kelihatannya sederhana, ya, tapi ternyata ndak semua orang mampu membuatnya. Karena kebutuhan terus meningkat, akhirnya saya minta bantuan orang lain untuk membuat, dan pasien tinggal ganti ongkos dan bahannya saja, dan ini bukan komersil,”  jelasnya. (*)

Penulis: Sefya H. Istighfarica
Editor: Defrina Sukma S