Universitas Airlangga Official Website

Tim ACDH dari FIB Amati Manuskrip al Quran Kuno di Gili Iyang

Tim ACDH dari FIB Amati Manuskrip Al Quran Kuno

UNAIR NEWS – Tim dari Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyakat (LPPM) UNAIR melalui program Airlangga Community Development Hub (ACDH). Kegiatan yang berlangsung pada 21-24 September 2023 kembali melaksanakan kegiatan pengabdian kepada masyarakat di Gili Iyang, Kabupaten Sumenep, Madura.

Kedatangan tim pengmas UNAIR ke pulau, yang menurut laporan LAPAN memiliki kadar oksigen tertinggi kedua di dunia itu merupakan yang kedua kalinya di tahun ini. Pada kesempatan tersebut, penerjunan melibatkan Fakultas Ilmu Budaya (FIB) yang membersamai tim dari Fakultas Psikologi dan Fakultas Kedokteran Hewan.

Tim dosen dan mahasiswa FIB berkeliling ke beberapa situs bersejarah dengan Ahyak Ulumuddin sebagai pemandu. Selain itu, ia juga merupakan Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Gili Iyang. Pada momen tersebut, tim berkesempatan mengamati langsung dua manuskrip kuno yang merupakan artefak asli Gili Iyang, yaitu sebuah al Quran dan sebuah kitab fikih. Dokumen-dokumen tersebut dikeramatkan oleh penduduk Gili Iyang dipercaya memiliki kekuatan magis.

Tim FIB bertamu ke kediaman salah satu warga yang merawat al Quran kuno. Masyarakat setempat meyakini sebagai peninggalan dari seorang ulama Gili Iyang yang hidup pada circa abad ke-19.

“Naskah ini tidak sampai 30 juz, hanya 15 juz sebab penulisnya moksa (menghilang) sebelum menuntaskannya,” jelas Ahyak.

Meski naskah al Quran tersebut tidak selengkap sebagaimana seharusnya, keberadaannya masyarakat Gili Iyang keramatkan. Bagi masyarakat Gili Iyang, kesakralan dokumen itu dapat mendatangkan keberkahan yang mampu membantu pembacanya mencapai kesuksesan duniawi.

Selanjutnya, Ahyak menuturkan bahwa tidak jarang rumah penyimpan kitab suci itu didatangi oleh tokoh-tokoh politik dari luar Gili Iyang. Mereka mempercayai bahwa jika mereka dapat membaca al Quran itu.

“Mereka akan memperoleh kemudahan untuk mewujudkan kepentingan-kepntingan politik mereka,” ujarnya.

Selain para politisi, tak sedikit para pengunjung yang membaca dengan niat untuk menemukan solusi atas persoalan hidup mereka. Salah satu contohnya, ketika seorang pengunjung mengalami kehilangan harta benda, dia berharap seusai membaca al Quran tersebut harta tersebut segera kembali.

“Apabila dalam satu minggu barang yang hilang tersebut tidak dikembalikan kepada pemiliknya, orang yang mengambilnya akan terkena bala atau karma. Seperti sakit bahkan ada yang sampai meninggal,” cerita Ahyak.

Selain al Quran, di dalam peti penyimpan kitab suci itu juga terdapat satu buah manuskrip kuno yang lain. Tak hanya bertuliskan aksara Arab, dokumen itu juga mencantumkan aksara Jawa. Menurut Ahyak, naskah tersebut adalah sebuah kitab fikih.

Di samping menyimpan peninggalan manuskrip-manuskrip kuno, Gili Iyang menjadi tempat bagi sejumlah makam dari sosok-sosok yang diyakini sebagai para pendakwah yang berasal dari Timur Tengah. Dua dari pekuburan yang dimaksud menjadi tempat peristirahatan akhir bagi dua figur yang diyakini bernama Sayyid Sulaiman dan Sayyid Ali.

Nama Sayyid merupakan gelar popular yang sering merujuk kepada orang Arab yang memiliki garis keturunan Nabi Muhammad saw. Masing-masing makam dari kedua sosok tersebut berlokasi hanya beberapa puluh meter dari bibir pantai.

Menurut Ahyak, keberadaan makam-makam itu dapat menjadi penanda bahwa Gili Iyang pernah menjadi pulau singgah bagi pelaut yang berasal dari luar Madura bahkan luar Nusantara. Dia berpendapat bahwa hal itu memungkinkan untuk terjadi karena posisi pulau yang memang strategis sebagai lokasi transit para pelayar zaman dahulu.

“Pada peta tahun 1980an, di Pulau Gili Iyang ada lingkaran merah. Kalau ditarik garis khayal dari Bangkalan bagian barat sampai ke Pulau Sakala bagian timur, titik tengahnya tepat ada di Gili Iyang,” imbuh Ahyak.

Selain kedua makam di atas, terdapat sebuah petilasan yang telah ditandai sebagai makam dari seorang tetua adat yang dianggap sebagai salah satu yang paling berpengaruh di Gili Iyang, yakni Datuk Andang Taruna. Kendati begitu, Ahyak menerangkan bahwa pekuburan itu tidak memendam jasad dari tokoh yang dimaksud.

Di bawah tanah makam tersebut hanya terkubur benda-benda peninggalan sang Datuk yang berupa lonceng, tongkat, surat wasiat, selendang, dan sejumlah peninggalan lain. Ahyak menceritakan, “Isi surat wasiat menyatakan bahwa dia sudah meninggal dan tidak perlu dicari.”

Penghormatan terhadap Datuk Andang Taruna dilakukan dengan penyelenggaran ritual adat tahunan yang dilaksanakan oleh warga, terutama dari kalangan sesepuh. Ritual tersebut bertujuan untuk mendatangkan hujan. Waktu pelaksanaannya adalah setiap musim menanam jagung.

Upacara adat itu dilaksanakan selama tujuh hari berturut-turut dan berakhir pada hari Jumat Legi. Ketika menjalani ritual itu, warga berjalan bersama-sama mengelilingi pulau pada malam hari sembari melantunkan secara berulang-ulang sebuah syair pujian tertentu yang telah diwariskan secara turun-menurun. Sebelum berkeliling, warga berkumpul di area makam sang Datuk untuk menjalani ritual pembukaan.

Ahyak menerangkan bahwa syair yang dibacakan pada ritual tersebut tak menggunakan Bahasa yang benar-benar asli Madura. Bahasa yang digunakan mengandung perpaduan bahasa Bajo, Sulawesi dan bahasa Arab. Hal ini juga memberikan petunjuk bahwa Gili Iyang merupakan pulau yang memiliki hubungan dengan etnis lain di Nusantara pada masa lalu.

Berdasarkan hasil pengamatan terhadap beberapa peninggalan di atas, tim ACDH FIB berkesimpulan bahwa keberadaan objek-objek bersejarah di atas patut untuk ditindaklanjuti dengan kajian-kajian ilmiah. Perspektif ilmu Sejarah, Antropologi, maupun keilmuan Humaniora lainnya berpotensi mengungkap kontribusi Gili Iyang dalam konteks sejarah Nusantara.

Penulis: Gefira Nur Fatimah