Universitas Airlangga Official Website

Tim Peneliti Farmasi UNAIR Berhasil Patenkan Cara Ekstraksi dan Standarisasi Alergen

UNAIR NEWS – Universitas Airlangga (UNAIR) terus berupaya meningkatkan penelitian dan pengembangan sebagai wujud Tri Dharma Perguruan Tinggi. Buktinya, para akademisi UNAIR tak pernah absen dalam mencetuskan karya-karya terbaiknya. Seperti halnya yang dilakukan oleh tim peneliti dari Fakultas Farmasi UNAIR kali ini. Dengan diketuai oleh Prof Junaidi Khotib SSi MKes PhD Apt, tim berhasil mematenkan invensi yang berjudul Proses Ekstraksi dan Standarisasi Indonesian House Dust Mites (IHDM) pada pertengahan 2022 lalu.

Prof Junaidi Khotib menuturkan bahwa dipatenkannya proses ekstraksi dan standarisasi IHDM itu merupakan kelanjutan dari invensi sebelumnya, yakni pengembangan kit diagnostik yang bertujuan untuk mempermudah proses identifikasi alergi.

“Jadi, kali ini yang dipatenkan adalah proses dan cara membuat isian plester kit diagnostik yang sebelumnya sudah ada,” katanya.

Cara Kerja

Lebih lanjut, ia menjelaskan cara kerja ekstraksi dan standarisasi yang dipatenkannya itu. Dalam proses tersebut, prinsip utamanya adalah dengan mengambil protein dari alergen, yang dalam hal ini adalah debu. Pasalnya, protein menjadi salah satu komponen dari bahan penyebab alergi.

“Yang kita ambil sebenarnya merupakan kotoran atau juga dinding sel dari mites atau tungau. Kotorannya itu isinya adalah sel-sel yang sudah tidak digunakan oleh tungau itu, karena sebenarnya itulah yang menyebabkan alergi,” jelas Dekan Fakultas Farmasi UNAIR itu.

Kemudian, ia juga menambahkan bahwa cara yang digunakan untuk ekstraksi dan standarisasi adalah cara dingin dengan menggunakan suhu 15∘C hingga 8∘C. Metode ini diterapkan dengan tujuan untuk menghindari kerusakan protein pada komponen penyebab alergi.

“Dalam prosesnya tidak boleh menggunakan suhu di atas suhu ruangan, sehingga harus dibuat 8∘C. Akan tetapi, sayangnya di sini belum bisa mengupayakan proses ekstraksi dengan suhu 8∘C, sehingga kami menggunakan suhu 15∘C. Akan tetapi itu sebenarnya sudah cukup sudah mampu mensterilkan,” ujar dosen yang telah mengabdi sejak 1995 itu.

Perjalanan Penelitian

Untuk mematenkan temuannya itu, Prof Junaidi mengaku membutuhkan waktu yang cukup lama. Sejak tahun 2017, ia bersama tim sudah memulai penelitian dan pengembangan, baik untuk produk kit diagnostik alergen maupun proses pembuatannya.

“Sebenarnya untuk penelitian ekstrak alergen ini sudah dikembangkan terlebih dulu oleh RSUD Dr Soetomo. Hanya saja, produknya saat itu cara kerjanya adalah dengan digoreskan,” ungkapnya.

“Saat itu, kami sebenarnya juga sudah menjalin kerja sama dengan RSUD Soetomo. Sehingga, kami juga dengan mudah untuk melakukan pengembangan yakni dengan cara baru yang lebih aman saya kira, yakni dengan plester,” imbuhnya.

Penelitian dan pengembangan yang dimulai sejak tahun 2017 itu lalu mendapatkan dukungan berupa pendanaan dari Kemenristekdikti dan DRPM (Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat) hingga berlanjut pada tahun 2019. Namun sayangnya, pendanaan penelitian itu harus terhenti pada tahun 20202, seiring dengan datangnya pandemi Covid-19. Hal itu lantas menghentikan penelitian dan pengembangan yang dilakukan oleh Prof Junaidi dan tim.

Alhamdulillah, pendanaan untuk pengembangan ini bisa berlanjut pada tahun 2021. Jadi, saat itu kami ada riset mandat melalui Badan Pengembangan Bisnis Rintisan dan Inkubasi (BPBRIN), di mana kami difasilitasi untuk menambah fasilitas dan proses produksi. Selanjutnya, di 2023 ini kami harapkan dapat matching fund,” terangnya.

Tantangan dalam Pengembangan

Melakukan penelitian dan pengembangan sejak lama, tentu saja terdapat tantangan dan kendala yang tidak dapat terhindarkan. Terkait peralatan, kata dia, sebenarnya UNAIR telah memiliki alat dan fasilitas yang lengkap. Hanya saja, ia dan tim sempat alami kesulitan khususnya dalam proses impregnasi. Perlu diketahui, impregnasi adalah proses melekatkan komponen alergen pada plester sehingga dapat menempel maupun terlepas dengan baik.

“Untuk peralatan saya rasa kita sudah punya dan cukup, mulai dari ekstraksi, dialisisnya, sampai penetapan kadarnya. Memang yang saat ini menjadi tantangan peralatan adalah impregnasi untuk melekatkan ke dalam plester hingga bisa menempel dan melepas dengan baik,” tegas dosen kelahiran Jombang itu.

Tidak hanya itu, ia mengaku sempat mengalami kesulitan khususnya dalam menjalin kerja sama dengan pihak industri. “Yang tidak kalah menyulitkannya adalah kerja sama dengan industri. Ini tidak mudah, ya, karena industri itu selain mempunyai produk yang sifatnya kausatif dia juga punya produk yang sifatya simtomatik. Ketika industri yang kausatif ini dikembangkan maka yang simtomatik bisa mengalami penurunan,” bebernya.

Namun demikian, meski sempat mengalami kendala di beberapa aspek, Prof Junaidi bersama tim tetap berhasil melanjutkan pengembangannya. Untuk menyiasati sulitnya menggandeng industri, ia bersama tim memilih berkolaborasi dengan BUMN. Dengan demikian, ia berharap pengembangan yang ia lakukan itu bisa bermanfaat untuk masyarakat. (*)

Penulis: Yulia Rohmawati

Editor: Binti Q. Masruroh