UNAIR NEWS – Melakukan pendakian gunung memiliki tantangan tersendiri. Tak jarang beredar informasi bahwa ada saja pendaki yang mengalami penurunan kesadaran hingga meregang nyawa saat melakukan pendakian. Salah satu rintangan yang kerap dirasakan oleh pendaki adalah altitude sickness atau penyakit ketinggian.
Altitude sickness disebabkan karena tubuh tidak mendapatkan waktu yang cukup untuk menyesuaikan diri dengan oksigen dan perubahan tekanan udara saat berada di ketinggian. Tapi tak perlu khawatir karena ada beberapa tips menghadapi dan cara pencegahan yang bisa dilakukan dari dr Bambang Pujo Semedi SpAN KIC.
dr Bambang mengatakan, altitude sickness dapat terjadi saat pendakian 5000 mdpl hingga 8000 mdpl. “Tidak bisa kalau naik gunung tanpa persiapan. Harus tahu bahwa berada di ketinggian risikonya apa kalau tidak persiapan,” kata Ketua Departemen Anastesiologi dan Reaminasi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga tersebut. Altitude sickness dapat menyebabkan berbagai penyakit seperti Acute Mountain Sickness (AMS), High Altitude Pulmonary Edema (HAPE), dan High Altitude Cerebral Edema (HACE).
Muncul Gejala
AMS dapat terjadi saat seseorang berada pada ketinggian lebih dari 2500 mdpl. Gejala yang bisa dirasakan seperti nyeri kepala, gangguan pencernaan, hingga gangguan tidur. Sedangkan HAPE gejala yang dapat diwaspadai seperti batuk, sesak napas, hingga tampak kebiruan pada tangan. Masalah ini dapat mengakibatkan penumpukan cairan pada paru-paru.
HAPE dapat terjadi pada satu sampai tiga hari setelah pendakian. Sementara HACE yang merupakan penyakit paling berat pada altitude sickness ditandai dengan gejala penurunan kesadaran, ataksia atau gangguan gerak tubuh, dan pembengkakan saraf mata atau yang disebut papiledema.
“Kalau kemudian sampai otaknya bengkak (HACE, Red) maka orang itu pasti akan hilang kesadarannya,” ujar dokter yang memiliki hobi berlari dan mendaki tersebut.
Cara Menghadapi
Cara yang bisa dilakukan ketika mengalami gejala altitude sickness yang ringan adalah beristirahat terlebih dahulu. Tapi apabila semakin lama keadaan semakin memburuk maka disarankan untuk tidak melanjutkan pendakian dan segera turun.
“Kalau gejalanya semakin parah mutlak oksigen harus diberikan dan segera turun. Begitu juga kalau sudah istirahat tapi masih sesak napas maka hati-hati,” jelasnya pada Indonesia Mountain Medicine Summit yang dilaksanakan Minggu (19/3/2023).
Lebih lanjut ternyata tubuh manusia memiliki proses yang dinamakan aklimatisasi. Proses ini merupakan penyesuaian yang dilakukan tubuh saat berada pada kondisi tertentu salah satunya berada pada ketinggian.
“Aklimatisasi itu tidak mudah dan cepat, itu butuh waktu. Jadi sebelum mendaki harus latihan bisa dikombinasi dengan olahraga,” ucap dokter anestesiologi yang bertugas di RSUD dr. Soetomo tersebut.
Cara Pencegahan
Ada beberapa hal yang bisa dilakukan pendaki untuk menghindari altitude sickness. Pertama, hindari mendaki terlalu cepat pada pendaki yang belum terlatih. Kedua, hindari merokok, narkoba, dan kebiasaan buruk yang merusak kesehatan. Ketiga, wanita hamil sebaiknya tidak tidur di ketinggian lebih dari 3700 mdpl.
Keempat, jaga kesehatan mental. Kelima, saat berada pada ketinggian makanlah makanan yang mengandung banyak kalori. Keenam, jaga hidrasi dengan minum cukup air. Ketujuh, pilihlah istirahat malam pada ketinggian lebih rendah dan mendaki pada pagi hari. Kedelapan, turun sekurangnya setengah mil saat gejala AMS dirasakan. Kesembilan, istirahat yang cukup. (*)
Penulis: Icha Nur Imami Puspita
Editor: Binti Q. Masruroh