UNAIR NEWS – Berbicara mengenai transisi menuju penggunaan energi baru terbarukan (EBT), hal ini tak pelak menjadi suatu keniscayaan seluruh negara. Transisi ini tidak terlepas esensinya dari Sustainable Development Goals (SDGs) terutama nomor 13 tentang perubahan iklim. Poin ini menjadi pedoman negara-negara untuk memprioritaskan mitigasi perubahan iklim. Namun, Sampe Purba, staf ahli Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral membawa pembahasan tersebut lebih jauh.
Sampe menyorot gagasan bahwa transisi energi hendaknya berdampingan dengan perputaran ekonomi. Bagaimana caranya supaya suatu negara yang pertumbuhan ekonominya didasari oleh energi fosil bisa tetap berpartisipasi dalam ekosistem EBT. Jangan sampai, ucapnya, pelaku usaha ini hanya jadi pemain pasif saja.
Ketika prioritas terhadap SDGs 13 ini terlaksana, tambah perwakilan Indonesia dalam Extractive Industries Transparency Initiative (EITI) itu, SDG 1 (tanpa kemiskinan) juga hendaknya dipertimbangkan. Transisi energi yang sedang terjadi hendaknya tidak menimbulkan kesenjangan sosial baru dan mestinya mampu memberi manfaat. Yang terpenting, kebijakan transisi mempertimbangkan tiga asas, yaitu keadilan, kebermanfaatan, dan kepastian.
“Warga miskin itu sudah cukup berat berpikir tiap hari makan apa, mana bisa berpikir memasak pakai energi apa? Transisi ini adalah bagaimana caranya kita membagi beban yang sama dan semua dapat manfaat yang sama,” tukas Sampe.
Demi menyukseskan transisi, alumnus Universitas Pertahanan tersebut menerangkan, akan lebih mudah apabila semua pihak berada dalam playing field yang sama. Maksudnya adalah bahwa semua negara bisa memiliki kemampuan, terutama teknologi dan finansial yang sama. Sampe kemudian menyinggung mekanisme kredit karbon sebagai contoh.
Sampe berkata bahwa Indonesia bisa berkontribusi dalam memberikan jatah oksigen dengan melestarikan lingkungan. Namun, kompensasi ekonomi yang diberikan juga harus sepadan untuk mewujudkan SDG 1. Di lain sisi, mekanisme pajak karbon ini juga memiliki tantangan tersendiri, yaitu menyeimbangkan kemajuan pembangunan dengan preservasi lingkungan.
“Dengan mekanisme pajak karbon, negara maju bisa produksi CO2 sepanjang mereka bisa bayar. Mereka bisa pakai Boeing sementara negara seperti kita disuruh jaga hutan 10 hektar. Gimana bisa dilakukan pembangunan?,” tanya Sampe retoris.
Pendapat Sampe ini dipaparkan dalam Konferensi EBT yang dilaksanakan oleh Fakultas Hukum Universitas Airlangga (FH UNAIR) bertajuk Menatap Masa Depan Energi Baru dan Terbarukan Pasca-Pandemi: Potensi dan Tantangan. Konferensi tersebut diselenggarakan pada 28-29 Juni 2022 dan mengundang pembicara terkemuka dari berbagai instansi seperti Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) serta Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKKMIGAS). (*)
Penulis: Deanita Nurkhalisa
Editor: Binti Q. Masruroh