UNAIR NEWS – Isu krisis iklim dan kesejahteraan global menjadi sorotan utama dalam kegiatan AMORA: Airlangga SDGs School x SDGs Ambassador 2025 yang digelar oleh Sustainable Development Goals (SDGs) Center Universitas Airlangga. Kegiatan itu berlangsung pada Kamis (15/5/2025) di Ruang Bayu Kinara, Airlangga Convention Center, Kampus C UNAIR, menghadirkan Professor Zeef Bohbot dari KTH Royal Institute of Technology, Sweden, sebagai narasumber utama.
Kebutuhan atau Keinginan?
Dalam paparannya, Prof Bohbot mengutip definisi pembangunan berkelanjutan dari Laporan Brundtland tahun 1987. Menurut laporan tersebut, pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang. Namun, ia menyoroti bahwa batas antara kebutuhan dan keinginan kini menjadi kabur di masyarakat modern. Ia mendorong peserta untuk lebih kritis dalam memahami makna ‘kebutuhan’ dan bagaimana hal itu berdampak pada keberlanjutan.
“Penggantian perangkat elektronik, kendaraan baru, dan konsumsi berlebihan sering dianggap kebutuhan, padahal lebih mencerminkan simbol status sosial,” tuturnya.
Planetary Boundaries dan Krisis Iklim
Lebih lanjut, Prof Bohbot mengangkat data terkini mengenai perubahan iklim. Ia menyampaikan bahwa suhu bumi telah meningkat 1,4°C, mendekati batas maksimal yang ditetapkan dalam Paris Agreement, yaitu 1,5°C. Bahkan, di beberapa wilayah seperti Skandinavia, kenaikan suhu mencapai 4°C.
“Target 1,5°C kemungkinan besar tidak akan tercapai,” ungkapnya.
Padahal, menurutnya, 78 persen energi dunia masih bergantung pada sumber tak terbarukan meski teknologi energi hijau terus berkembang. Ia juga memperkenalkan konsep planetary boundaries yang dikembangkan Stockholm Resilience Centre. Konsep itu menjelaskan sembilan batas aman planet, seperti perubahan iklim, keanekaragaman hayati, dan degradasi tanah.
“Banyak dari batas ini yang telah terlampaui. Kita telah memasuki zona bahaya bagi kelangsungan hidup manusia,” tegasnya.
Mahasiswa sebagai Agen Perubahan
Dengan gaya penyampaian lugas dan berbasis data, Prof Bohbot mengajak mahasiswa untuk tidak hanya memahami krisis yang terjadi, tetapi juga ikut bergerak. Menurutnya, generasi saat ini merupakan bagian dari penyebab utama kerusakan lingkungan, dan karenanya juga bertanggung jawab untuk mengatasinya.
“Kita adalah generasi yang telah menyebabkan sebagian besar permasalahan ini. Maka sudah seharusnya kita juga yang mengambil tanggung jawab untuk mengubahnya,” ujarnya.
Melalui kegiatan ini, UNAIR memperkuat perannya sebagai institusi pendidikan tinggi yang berkontribusi dalam mencetak pemimpin masa depan yang peduli terhadap isu global. Kegiatan AMORA tidak hanya memberi wawasan ilmiah, namun juga menjadi ruang refleksi bagi mahasiswa atas kontribusi mereka dalam menciptakan masa depan berkelanjutan.
Penulis: Ameyliarti Bunga Lestari
Editor: Khefti Al Mawalia