Universitas Airlangga Official Website

Urbanisasi Indonesia: Antara Mimpi Kota Besar dan Realitas Perkotaan

Ilutrasi urbanisasi (Foto: sindo)

Urbanisasi Indonesia memang menghadirkan gambaran yang menarik: ribuan orang meninggalkan desa untuk mencari peluang di kota-kota besar. Namun, dengan semakin banyaknya penduduk yang berbondong-bondong menuju kota, muncul pertanyaan penting: Apakah kota-kota kita benar-benar siap menampung arus besar ini?

Dengan segala tantangan infrastruktur, polusi, dan kemacetan, mungkin kita perlu berpikir ulang tentang apakah kehidupan di kota besar selalu seindah yang dibayangkan, atau menjadi tempat di mana impian harus berhadapan dengan kenyataan pahit?

Dalam beberapa dekade terakhir, urbanisasi telah menjadi fenomena yang tak terhindarkan, didorong oleh migrasi besar-besaran ke kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan. Urbanisasi sering dianggap sebagai simbol kemajuan, seolah-olah berpindah ke kota adalah tiket menuju kehidupan yang lebih baik. Namun, apakah kenyataan memang selalu sejalan dengan harapan? Data menunjukkan bahwa perpindahan penduduk dari desa ke kota di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Ironisnya, di tengah arus urbanisasi, tantangan seperti kemacetan, permukiman kumuh, dan ketimpangan layanan dasar di kota malah semakin mencolok.

Grafik ini menggambarkan peningkatan pesat persentase penduduk Indonesia yang tinggal di perkotaan dari tahun 2010 hingga proyeksi tahun 2035. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2020, sekitar 56,7 persen populasi Indonesia tinggal di wilayah perkotaan, meningkat signifikan dibandingkan 49,8 persen pada tahun 2010. Persentase tersebut diprediksi terus meningkat menjadi 66,6 persen pada 2035.

Mengapa urbanisasi melonjak? Jawabannya jelas: daerah perkotaan memberikan akses yang lebih baik terhadap pekerjaan, pendidikan, dan layanan kesehatan. Tren ini, meski terlihat mengesankan dari sudut pandang modernisasi, menyiratkan ironi yang cukup tajam: desa-desa yang dulu menjadi nadi ekonomi nasional kini perlahan kehilangan penghuninya. Ironisnya, urbanisasi ini tidak selalu mencerminkan peningkatan kualitas hidup. Misalnya, data menunjukkan bahwa pertumbuhan kawasan kumuh di beberapa kota justru meningkat akibat tekanan infrastruktur yang tidak seimbang dengan lonjakan populasi.

1. Ketimpangan Fasilitas Pendidikan: Dari Desa ke Kota

Data Tingkat Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan Penduduk 15 Tahun ke Atas menurut Wilayah Perkotaan dan Pedesaan di Tahun 2023.

Grafik menunjukkan ketimpangan pendidikan antara perkotaan dan pedesaan di Indonesia. Pada perkotaan, terdapat lebih dari 35 persen penduduk usia 15 tahun ke atas yang telah menamatkan pendidikan SMA/sederajat. Data menunjukkan bahwa mayoritas penduduk di perdesaan hanya menamatkan pendidikan sampai dengan jenjang SD. Ketimpangan ini mencerminkan keterbatasan akses pendidikan di pedesaan yang diperparah oleh urbanisasi.

2. Bonus Demografi

Indonesia sedang mengalami bonus demografi, di mana jumlah penduduk usia produktif meningkat pesat. Menurut BPS, sekitar 70,72 persen dari populasi Indonesia berada dalam kelompok usia produktif (15-64 tahun). Hal ini menciptakan potensi besar dalam hal tenaga kerja yang mendorong permintaan akan lapangan pekerjaan, yang sebagian besar terkonsentrasi di kota-kota besar.

3. Ketimpangan Ekonomi dan Sosial

Perbedaan tingkat kemakmuran antara daerah urban dan rural juga menjadi penyebab utama urbanisasi. Kota-kota besar di Indonesia, seperti Jakarta, Surabaya, dan Bandung, menawarkan berbagai kesempatan bagi mereka yang mencari pekerjaan yang lebih baik. Sektor-sektor ekonomi yang lebih maju, seperti industri dan jasa, cenderung berlokasi di kota, sementara desa lebih banyak bergantung pada sektor pertanian yang kurang berkembang. Hal ini menciptakan ketimpangan yang akhirnya mendorong masyarakat desa untuk mencari kehidupan yang lebih baik di kota.

Urbanisasi di perkotaan Indonesia memang mendukung pertumbuhan ekonomi, tetapi juga menciptakan masalah seperti kemacetan. Di Jakarta, lebih dari 1 juta penduduk dari daerah sekitar setiap hari mengalir ke pusat kota, memperparah kemacetan yang sudah parah. Data BPS menunjukkan bahwa infrastruktur transportasi di Jabodetabek kesulitan mengatasi lonjakan kendaraan, yang memperburuk kondisi lalu lintas

Selain itu, fasilitas umum juga semakin terbebani dengan jumlah penduduk yang terus meningkat. Permukiman kumuh dan tingkat polusi udara yang tinggi di kota besar menjadi isu serius. Di Jakarta, misalnya, lebih dari 10 juta penduduk tinggal di kawasan yang padat dengan akses terbatas terhadap perumahan yang layak.

Data BPS dan analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa meskipun kota-kota ini berkembang pesat, banyak penduduk yang justru terjebak dalam kemiskinan perkotaan akibat tingginya biaya hidup dan ketidakmampuan untuk bersaing di pasar tenaga kerja yang kompetitif.

Meskipun urbanisasi membawa peluang ekonomi dan kehidupan di kota besar tampak menjanjikan, kenyataannya lebih kompleks. Kemacetan, kekurangan fasilitas, dan ketimpangan sosial semakin mempersulit kualitas hidup di kota-kota besar. Dengan lonjakan populasi yang terus meningkat, kota-kota kita harus menghadapi tantangan besar dalam menyediakan infrastruktur dan layanan yang memadai. Jadi, meskipun kehidupan kota menawarkan peluang, kita tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa kota-kota besar kini juga menjadi tempat di mana impian seringkali bertemu dengan realita yang kurang menyenangkan.

Penulis: Ellen Diva Ibanez, Mahasiswa FTMM UNAIR