Universitas Airlangga Official Website

Validitas Biopsi Nasofaring dengan Narrow Band Imaging pada Penderita Dugaan Karsinoma Nasofaring

Ilustrasi kanker nasofaring. (Sumber: Detik Health)

Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor yang banyak ditemukan di Asia Tenggara. Prevalensi KNF di Indonesia adalah 4,7 kasus per 100.000 penduduk per tahun. Data penderita KNF di poli THT-KL RSUD Dr. Soetomo Surabaya pada tahun 2008 hingga 2010 mencapai 397 penderita. Penderita yang datang berobat paling banyak sudah memasuki stadium lanjut akibat gejala dini KNF yang tidak spesifik dan lokasi nasofaring yang sulit untuk dilihat secara langsung.

Dalam bidang kedokteran, untuk menegakkan diagnosis dini KNF pun tidaklah mudah. Tumor ini berasal dari nasofaring yang merupakan rongga yang berada di belakang hidung, lebih tepatnya di suatu cekungan yang disebut fossa Rossenmuler. Pemeriksaan area nasofaring membutuhkan ketrampilan dan alat khusus terutama saat evaluasi fossa Rosenmuler yang merupakan area awal pertumbuhan tumor.

Diagnosis KNF ditegakkan dengan cara biopsi yaitu mengambil sedikit jaringan tumor nasofaring dengan alat forsep yang dimasukkan melalui hidung kemudian jaringan tersebut diperiksakan di bawah mikroskop. Tindakan biopsi ini umumnya dilakukan secara blind sehingga bila tumor masih berukuran kecil maka dapat saja jaringan tumor tidak terambil yang mengakibatkan hasil biopsi menjadi negatif serta jaringan sehat nasofaring yang terambil dapat mengakibatkan luka dan nyeri. Cara yang lebih valid saat ini dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis KNF stadium dini.

Di negara Eropa dan Jepang telah menggunakan narrow band imaging (NBI) untuk membantu penegakan diagnosis KNF. Narrow band imaging merupakan teknik pencitraan yang menggunakan gelombang cahaya merah-hijau-biru dengan prinsip bahwa daya serap tiap jaringan terhadap cahaya tersebut berbeda. Penelitian di Taiwan menyatakan skrining KNF dengan NBI memiliki nilai sensitivitas 97,1%. Penelitian lain di Singapura menyatakan nilai keakuratan deteksi meningkat dari 98 menjadi 100% pada pemeriksaan nasofaring dengan endoskopi konvensional dan NBI.

Prognosis penderita KNF sangat tergantung pada stadium saat diterapi, semakin dini stadium maka semakin tinggi angka kesembuhannya. Oleh karena itu, diagnosis KNF perlu ditegakkan sedini mungkin agar prognosis lebih baik. Apakah NBI valid untuk dapat digunakan sebagai baku emas diagnosis KNF?

Penelitian mengenai hal ini telah dilakukan di poli THT-KL RSUD Dr. Soetomo Surabaya terhadap penderita KNF. Dua prosedur dilakukan pada tiap penderita yaitu biopsi dengan NBI kemudian biopsi tanpa NBI. Hasil penelitian ini adalah sebanyak 77,3% penderita positif KNF dengan pemeriksaan NBI sedangkan 52,3% positif KNF pada pemeriksaan tanpa NBI. Sensitivitas penggunaan NBI pada penelitian ini adalah 95,7%, artinya NBI dapat mendeteksi 95,7% sel ganas nasofaring secara akurat. Hal ini sesuai dengan penelitian di Taiwan dan Jepang yang mendapatkan nilai sensitivitas 97,7% dan 97,1%.

Hasil positif palsu penggunaan NBI pada penelitian ini adalah 57,1% yang artinya penderita non-KNF memiliki kemungkinan 57,1% terdeteksi sebagai KNF positif dengan menggunakan NBI. Hal ini tidak sesuai dengan penelitian sebelumnya di Taiwan dan Jepang yang menyatakan nilai spesifisitas 98,9% dan 93,3%.

Suatu metode pemeriksaan dikatakan valid bila nilai sensitivitas dan spesifisitas mendekati 100%. Penelitian ini menyatakan bahwa penggunaan NBI dalam membantu penegakan diagnosis KNF tidaklah valid. Penegakan diagnosis KNF dengan biopsi tanpa NBI tetaplah menjadi baku emas. Tujuan biopsi dengan NBI adalah membantu visualisasi operator dalam memutuskan jaringan mana yang dicurigai suatu tumor ganas untuk dibiopsi.

Penulis : Bakti Surarso, Dini Fitrilia

Informasi detail dari riset ini dapat dilihat dari tulisan kami di:

https://link.springer.com/article/10.1007/s12070-018-1324-5