Ketika saya dalam perjalanan ke kampus C UNAIR untuk memimpin rapat internal Komite Audit UNAIR, saya mendengarkan Radio Suara Surabaya dimana penyiarnya mbak Hajjah Restu membuka kesempatan para pendengar untuk memberikan pendapat tentang pembangunan kota lama Surabaya. Saat itu Radio SS mengundang Kepala Dinas Pariwisata kota Surabaya sebagai nara sumbernya.
Saya sebagai orang asli kota Surabaya yang lahir di tahun 1950 an sangat faham dengan sudut-sudut kota pahlawan ini dan karena itu saya memberikan masukan kepada Pak Kadis bahwa kota lama Surabaya yang kini menjadi salah satu destinasi wisata kota janganlah hanya menunjukkan gedung-gedung tua tinggalan jaman Belanda dulu. Namun, perlu ada penyediaan informasi yang detail tentang kawasan itu. Karena itu saya usulkan bahwa pemerintah Kota Surabaya perlu memberi bekal yang cukup bagi para pemandu wisata tentang kota lama itu.
Seperti diketahui Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya melakukan revitalisasi kota lama di kawasan Jembatan Merah untuk menghidupkan kembali kejayaan masa lalu melalui perbaikan dan pemeliharaan bangunan-bangunan bersejarah yang ada di kawasan tersebut. Seperti diketahui, Kota Lama Surabaya menjadi saksi bisu perjalanan Kota Pahlawan, mulai dari masa kolonial hingga era kemerdekaan. Maka dari itu, revitalisasi dinilai menjadi langkah yang perlu diambil Pemkot Surabaya.
Salah satu kelemahan sektor pariwisata di negeri kita ini adalah kurangnya pemberian narasi informasi tentang objek atau produk-produk wisata. Para turis mancanegara umumnya memerlukan penjelasan yang detail dan menarik misalkan tentang masakan Padang yang proses nya memerlukan waktu lama, filsafat warna dan disain kain batik dsb. Saya pernah menghadiri konferensi internasional kewirausahaan usaha kecil dan menengah di Kairo Mesir dimana saat itu seluruh peserta diberi tas dari kain yang bentuknya sangat sederhana, biasa-biasa saja, kata orang Surabaya “ndak Mbejaji”. Namun tas itu ada stiker kain yang dijahit disudut kanan atas dengan narasi “tas ini dibuat oleh 1.000 UMKM Kairo Mesir”. Lalu tas yang “ndak mbejaji” itu menjadi sangat berarti bagi para hadirin peserta kongres dari berbagai negara.
Pemerintah kota Surabaya bisa memberikan informasi tentang bagaimana pemerintah kolonial Belanda membangun kawasan elit seperti jalan Darmo, Jalan Diponegoro, dan kawasan pusat agak ke timur ada jalan Biliton, Jalan Bali, kemudian kawasan disekitar Kotamadya dsb Rumah-rumah di kawasan ini khas rumah bangunan Belanda yang atapnya tinggi, bangunannya besar – tebal dindingnya “satu sen” kata orang Jawa yang menyebutkan bahwa dinding di buat dengan susunan dua- tiga bata, jadi tebal; lantainya ubin tegel (membuat rumah berasa dingin), kayu-kayu didalam bangunan itu adalah kayu jati asli, di depan dan belakang ada halaman yang umumnya ditanami pepohonan yang rimbun, dan dikedua sisi kiri dan kanan rumah ada space terbuka – yang semuanya ini membuat sirkulasi udara nya sangat bagus. Ibaratnya tanpa AC pun sudah terasa dingin. Saya pernah beberapa kali ke Belanda misalkan didaerah pinggiran Amsterdam saya jumpai rumah-rumah besar hampir sama seperti yang ada di Menteng Jakarta dan Darmo Surabaya.
Saya pikir para cerdik pandai dan mahasiswa di Fakultas Vokasi UNAIR bisa memberikan masukan-masukan kepada pemerintah kota Surabaya bagaimana cara membuat narasi yang menarik tentang kota lama Surabaya itu agar para wisatawan dalam dan luar negeri tertarik mengunjunginya, tentang arsitektur gedung, usia gedung, cerita dibalik dibangunnya gedung-gedung tua itu, siapa arsiteknya, desain kaca – kaca mozaik, ketebalan dinding, jenis tegel yang berwarna-warni, perusahaan-perusahaan Belanda yang menghuni gedung itu. Termasuk cerita sejarah tentang “the battle of Surabaya” bulan November 1945 yang terjadi di kawasan itu dsb; termasuk juga tentang sejarah Penjara Kalisosok yang ada di kawasan itu, misalkan kisah Kusni Kasdut mantan pejuang yang menjadi penjahat pernah merasakan penjara Kalisosok itu sebelum dihukum mati.