UNAIR NEWS – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 91/PUU/XVIII/2020 menetapkan UU 11/2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) sebagai inkonstitusional bersyarat. Hal ini dikarenakan minimnya partisipasi publik secara bermakna (meaningful participation) dalam proses pembuatan legislasi tersebut. Dalam diskusi yang mengeksplor rekam jejak UU Cipta Kerja, Wakil Dekan II FH UNAIR Dr Syaiful Aris memberikan materi terkait pengkajian dan perancangan UU Cipta Kerja.
Aris menjelaskan bahwa UU Cipta Kerja diformulasi dengan metode omnibus law. Ia adalah teknik menyusun atau merumuskan norma untuk mengkombinasi beragam substansi dalam satu peraturan perundang-undangan. Model legislasi itu digunakan agar efektivitas dan efisiensi proses legislasi tercapai, serta dapat mencakup suatu isu dengan multisektoral.
“Namun, omnibus law juga dapat berpotensi menerabas ketentuan formal pembentukan perundangan-undangan, serta partisipasi publik. Hal ini dikarenakan kompleksitasnya legislasi multisektoral, dan acapkali ia dibutuhkan dalam waktu cepat. Ia juga akan menimbulkan obesitas regulasi bilamana ia gagal diterapkan,” ujar Pakar HTN itu.
Potensi masalah tersebut tercermin dalam dibatalkannya secara bersyarat UU Cipta Kerja. Aris mengatakan bahwa keberlakuan UU tersebut hanya dapat dilakukan dengan memperbaiki aspek formil pembentukan perundang-undangan. DPR dan Pemerintah juga harus mengkaji kembali beberapa substansi yang menjadi keberatan beberapa kelompok masyarakat.
“Jadi perbaikannya tidak sebatas pada aspek formil, melainkan juga materiil. Amanat MK merupakan suatu legal audit. Audit undang-undang harus lebih dari sekadar aspek legalitasnya, tetapi juga harus menimbang kebutuhan masyarakat dan pembangunan nasional. Ia juga harus menimbang beban keuangan dan beban masyarakat yang berpotensi ditimbangkan dari peraturan tersebut,” papar mantan Direktur LBH Surabaya itu.
Aris menekankan bahwa realisasi legal audit itu mustahil tanpa adanya meaningful participation. Aspirasi dari publik memiliki hak untuk didengar, dipertimbangkan, dan dijelaskan. Dalam aspek formil, DPR dan Pemerintah harus merevisi undang-undang yang mengatur terkait pembentukan peraturan perundang-undangan. Dari situ, Aris juga mengatakan bahwa legislator harus memperkuat posisi partisipasi masyarakat dalam revisi tersebut.
“Pada setiap tahapan pembahasan UU, DPR dan Pemerintah harus melibatkan elemen masyarakat. Dalam tahapan-tahapan tersebut, hendaknya transparansi harus dikedepankan. Partisipasi publik merupakan bagian dari HAM dan salah satu elemen krusial dalam kualitas demokrasi suatu negara,” tutupnya.
Materi tersebut disampaikan oleh Aris dalam Legal Discussion yang digelar oleh Solidaritas Mahasiswa Hukum untuk Indonesia (SMHI) FH UNAIR. Webinar tersebut digelar pada Sabtu siang (23/4/2022) dan mengundang narasumber lain dari elemen Kemenkumham RI dan Kemenko Perekonomian RI.
Penulis: Pradnya Wicaksana
Editor: Nuri Hermawan