UNAIR NEWS – Pusat Pengelolaan Dana Sosial (Puspas) Universitas Airlangga menggelar webinar bertajuk Ibukota Baru dan Alternatif Investasi pada Jumat (17/2/2023). Salah satu pembicara dalam gelaran ini adalah Dr Suyatno Ladiqi, dosen senior Faculty of Law and Internatonal Relations, University Sultan Zainal Abidin, Malaysia.
Dalam kesempatan itu, Dr Suyatno banyak membahas mengenai kondisi geopolitik pasca Presiden Joko Widodo mengumumkan pemindahan ibukota ke Kalimantan Timur, tepatnya di Kabupaten Penajem Paser Utara (PPU). “Perpindahan ibukota selalunya akan dikaitkan dengan geopolitik sebagai motif dasar dalam kontes hubungan internasional,” terangnya.
Alasan geopolitik menjadi faktor kunci pemindahan ibukota suatu negara. Menurutnya, menjadi hal yang ironis ketika sebuah ibukota negara diletakkan di wilayah yang sulit dijangkau serta tidak strategis.
“Oleh karena itu, lokasi geopolitiknya sangat penting agar ia bisa mengembangkan jaringan yang sangat penting bagi jaringan mega-regions dan ia mampu menciptakan saluran-saluran pengaruh kepada negara-negara tetangga,” tutur Dr Suyatno.
Dalam kasus pemindahan ibukota Indonesia, ia menyebutkan bahwa beberapa politisi Sabah berharap pemindahan ibukota Indonesia dapat berdampak terhadap pembangunan infrastruktur utamanya yang menghubungkan IKN dengan wilayah Sabah, Malaysia.
Pemindahan ibukota ini, ujar Dr Suyatno, juga memiliki dampak geopolitik yang sangat luar biasa bagi Indonesia. Pasalnya, geopolitic rivalry (persaingan geopolitik) akan selalu ada utamanya dengan negara-negara yang berbatasan langsung dengan wilayah Indonesia.
“Dalam kontes geopolitik di mana lokasi selalu menjadi alasan apakah kita dilawan atau melawan, dari situ kita bisa mengambil keuntungan atau kita bisa menghindari peperangan. Geopolitik tentunya akan lebih menguntungkan jika kita bekerja sama, dalam konteks ibu kota ini, akan coba kita lakukan apa yang perlu dilakukan,” ungkap Dr Suyatno.
Ia menyebutkan bahwa dengan posisi Indonesia saat ini, kita memiliki potensi rivalry salah satunya dengan negara Malaysia. Namun, potensi untuk menjalin kerja sama akan tetap ada. Di samping Malaysia, Dr Suyatno juga mengingatkan posisi Indonesia yang berbatasan dengan Laut China Selatan yang tentunya dapat menciptakan kerja sama yang baik atau justru memunculkan persaingan.
Pemindahan ibukota, menurut Dr Suyatno, juga memberikan tantangan tersendiri bagi Indonesia. Dengan pemindahan ibukota ini, kita akan melihat bagaimana kerjasama ASEAN akan berdampak terhadap kondisi Indonesia kedepannya. “Kalau kita melihat, wilayah yang bebas perang adalah Asia Tenggara dan ini berkat ASEAN,” tegasnya.
“Kita kembali ke UUD bagaimana kebijakan luar negeri Indonesia dan apa yang harus kita lakukan. Kita akan kembalikan lagi ke bangsa ini apakah pemindahan ibukota bisa nampak untuk melihat peta yang lebih global, apa keuntungan, serta apa yang bisa kita hindari dari kemungkinan-kemungkinan buruk tadi,” pungkasnya di akhir sesi webinar. (*)
Penulis: Agnes Ikandani
Editor: Binti Q. Masruroh