UNAIR NEWS – Pada usia sekolah dasar, terdapat berbagai masalah psikososial yang rawan dialami oleh anak, baik masalah dengan teman, keluarga, satuan pendidikan, maupun dengan masyarakat di sekitar. Masalah-masalah tersebut, misalnya konflik dengan orang tua, perundungan, atau konflik dengan guru di sekolah, akan bisa mempengaruhi tumbuh kembang anak.
Untuk menghadapi hal tersebut, guru sebagai salah satu lingkungan terdekat anak perlu memiliki kemampuan untuk bisa memberikan dukungan psikologis awal (DPA) kepada anak. Oleh karena itu, pada hari Rabu dan Kamis (21-22/8/2022), Lembaga Pendidikan Ma’arif NU Sidoarjo bekerja sama dengan Fakultas Psikologi Universitas Airlangga dan Pusat Krisis dan Pengembangan Komunitas Universitas Airlangga mengadakan Workshop Dukungan Psikologis Awal bagi Guru MI.
Kegiatan itu bertujuan untuk mendorong SDGs ke-3 mengenai kesehatan dan kesejahteraan hidup dan SDGs ke-4 mengenai pendidikan yang berkualitas. Dengan diadakannya kegiatan ini, harapannya guru-guru MI dapat memberikan dukungan psikologis awal (DPA) untuk mengatasi permasalahan psikologis anak didiknya.
Kegiatan workshop dilaksanakan di Aula PCNU LP Ma’arif NU Sidoarjo selama dua hari. Materi di hari pertama dibawakan oleh Eldatia Utari Putri MPsi Psikolog, sedangkan materi di hari kedua dibawakan oleh Bani Bacan Hacantya Yudanagara SPsi MSi. Total peserta berjumlah 52 guru dari berbagai MI di Sidoarjo, 21 guru hadir di kegiatan hari pertama, dan 31 guru pada kegiatan hari kedua.
Materi yang diberikan membahas terkait pemberian dukungan psikologis awal terhadap murid MI. Di awal kegiatan, pembicara meminta para peserta untuk menuliskan harapan mereka dalam mengikuti kegiatan ini sebelum kemudian masuk ke sesi materi. Pada sesi materi, pembicara menjelaskan tentang masalah-masalah psikososial yang dihadapi anak, apa itu dukungan psikologis awal (DPA), dan bagaimana cara untuk menerapkannya pada anak didik.
“Ibu dan bapak guru ini masih sangat mungkin untuk mengarahkan anak didiknya. Apabila tidak diatasi, anak yang mengalami perundungan akan terus-terusan merasa rendah diri. Begitu pula pelaku perundungan, mereka akan membawa perilaku itu sampai besar,” jelas Bani Bacan saat menjelaskan tentang pentingnya pemberian DPA kepada anak didik.
Setelah pemberian materi mengenai DPA, guru-guru diberikan pembekalan teknik relaksasi yang bisa mereka berikan untuk membantu peserta didik yang mengalami kondisi terkejut, panik, atau histeris. Kegiatan kemudian dilanjutkan dengan sesi tanya jawab, dan terakhir sesi praktik di mana para guru diminta untuk berpasangan dan saling memberikan DPA ke satu sama lain.
Secara keseluruhan, workshop berjalan dengan lancar serta diterima dengan baik oleh para peserta.
“Kegiatan dikemas dengan bentuk yang menyenangkan dan tidak membosankan. Selain itu, workshop berjalan dengan cukup interaktif karena melibatkan peserta untuk berinteraksi selama kegiatan berlangsung,” tulis salah satu peserta kegiatan di formulir evaluasi yang dibagikan di akhir acara. (*)
Editor: Binti Q. Masruroh