NEWS UNAIR – Nyeri haid merupakan gejala menstruasi yang lumrah dialami oleh setiap perempuan. Namun sudah sepatutnya dicurigai apabila nyeri haid dirasa begitu menyiksa.
Nyeri haid yang dirasa ‘tidak wajar’ seringkali dianggap biasa oleh masyarakat pada umumnya. Padahal, bermula dari gejala nyeri haid sebagian besar didiagnosa sebagai endometriosis.
Ketua Departemen Obstetri & Ginekologi FK UNAIR-RSUD Dr.Soetomo Dr. H.Hendy Hendarto, dr., Sp.OG(K) mengatakan, kasus Endometriosis di Surabaya terbilang cukup tinggi. Sebagian besar dari mereka, datang untuk berobat dalam kondisi akut.
Endometriosis terjadi karena darah haid mengalir kembali (regurgitasi) melalui saluran tuba kemudian menempel pada organ kandungan di bagian panggul.
“Hampir 80 persen wanita mengalami regurgitasi haid. Darah haid tetap keluar tapi ternyata di dalamnya darah mengalir masuk,” ungkapnya.
Penumpukkan darah di organ kandungan ini perlahan-lahan mengakibatkan terjadinya inflamasi atau peradangan yang cukup tinggi. Kondisi ini mengakibatkan nyeri haid berlebihan hingga akhirnya menganggu kesuburan. Endometriosis ditandai dengan dua keluhan, yaitu nyeri haid berlebihan dan infertilitas.
“Ketika nyeri haid tidak mempan dengan obat pereda nyeri, maka patut dicurigai,” ungkapnya.
Hendy mengungkapkan, pasien kerap memeriksakan keluhan nyeri haid karena tidak kunjung membaik setelah mengonsumsi obat pereda nyeri sebelumnya. Malah, kondisinya semakin parah. Setelah dilakukan pemeriksaan, ternyata sudah mengalami endometrosiosis stadium tiga hingga empat.
“Endometrosis bisa berpotensi menjadi kista, kalau sudah jadi kista maka sudah masuk grade IV atau berat. Untuk itu penanganannya lebih kompleks. harus diobati dulu, kemudian operasi. Pasca operasi juga masih harus didampingi pengobatannya,” jelasnya.
Hendy telah menangani banyak kasus pasien yang datang berobat ke klinik fertilitas. Umumnya mereka kesulitan memiliki keturunan setelah bertahun-tahun menikah. Setelah dilakukan pemeriksaan laparoskopi, hasilnya 50 persen lebih didiagnosa mengalami endometriosis.
“Pengobatan endometriosis ternyata tidak mudah. Pasien diberi obat-obatan anti nyeri, namun tingkat kekambuhannya tinggi. Jika kondisi parah maka harus operasi. Itu saja masih beresiko kambuh. Resikonya sulit hamil, dan masih mengupayakan bayi tabung,” ungkapnya.
Untuk memperdalam kasus tersebut, Tim dokter Departemen Obstetri & Ginekologi FK UNAIR-RSUD Dr.Soetomo telah banyak melakukan riset. Hingga kini, belum diketahui pasti seperti apa mekanisme endometriosis sehingga menyebabkan nyeri dan infertilitas.
“Masih banyak diperdebatkan dan masih banyak peluang untuk meneliti hal itu,” ungkapnya.
Di luar negeri, diagnosa kasus tersebut terbilang lambat. Sebuah data menyebutkan bahwa diagnosa ketepatan endometriosis di beberapa negara di Eropa mencapai waktu hingga 11 tahun.
“Pasien baru dipastikan endometriosis 11 tahun kemudian setelah dilakukan pemeriksaan melalui operasi. Itu di luar negeri, bagaimana Indonesia?,” ungkanya.
Tak dipungkiri, endomitrosis adalah kasus yang kronis dan memerlukan waktu yang cukup panjang untuk memastikan diagnosa penyakit tersebut. Hal ini menyebabkan keterlambatan diagnosis. Sehingga ada banyak hal yang perlu diperbaiki untuk menjawab berbagai tantangan dalam penganan kasus tersebut.
Deteksi dini paling mudah adalah mewaspadai bila mengalami nyeri haid berlebihan, nyeri haid semakin parah setelah tidak mempan mengonsumsi obat pereda nyeri. Bila kondisi ini terus berlanjut, maka segera periksakan ke dokter.
“Gejala penyakit ini sulit dikenali, karena bersamaan dengan siklus haid. Untuk itu perlu waspada. Karena wanita dengan nyeri haid 80 persen didiagnosa endometriosis, dan separuhnya mengalami ketidaksuburan,” ungkapnya.
Untuk memastikan diagnosis, maka perlu melakukan pemeriksaan laparoskopi, karena pemeriksaan endometriosis cukup konkret. Dalam kasus ringan grade 1 maupun 2, diagnosa seringkali tidak menunjukkan gambaran diagnosa. Mengingat, pada level ringan tidak terlihat adanya penampakkan yang patut dicurigai.
“Dengan pemeriksaan USG saja masih tidak terlihat apa-apa. Baru bisa didiagnosa kalau sudah muncul kista,” ungkapnya. (*)
Penulis : Sefya Hayu Istighfaricha
Editor : Binti Q. Masruroh