Studi tentang mikroalga banyak dikembangkan dalam skala laboratorium. Aplikasi skala besar mikroalga seperti foto-bioreaktor besar atau kolam komersial tidak mapan karena beberapa kendala. Mahalnya biaya penerangan buatan dalam budidaya mikroalga menjadi salah satu kendalanya. Terbukti, intensitas sinar matahari alami tinggi setiap bulan selama satu tahun penuh di Indonesia. Sinar matahari alami ini dapat menjadi sumber penerangan yang murah untuk budidaya mikroalga di negara tropis seperti Indonesia. Namun, pengetahuan dasar apakah sinar matahari alami di Indonesia cukup atau tidak untuk budidaya mikroalga masih kurang dipahami.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah sinar matahari di Indonesia, khususnya Yogyakarta, cukup atau tidak untuk budidaya mikroalga tanpa adanya pencahayaan buatan. Data periode pencahayaan matahari dari Januari 2019 hingga Juni 2020 dikumpulkan dari situs BMKG (Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika). Data periode penyinaran matahari diubah menjadi data radiasi matahari. Uji Liliefors dilakukan untuk mengevaluasi distribusi data radiasi matahari. Untuk memastikan apakah penyinaran matahari di Yogyakarta cukup untuk budidaya mikroalga atau tidak, dalam penelitian ini digunakan uji statistik parametrik yaitu uji T sampel tunggal. Uji Liliefors menunjukkan bahwa radiasi matahari di Yogyakarta (Januari 2019 hingga Juni 2020) berdistribusi normal.
Nilai Liliefors yang dihitung (0,14) lebih kecil dari nilai tabel Liliefors (2,00). Hasil uji-T menunjukkan bahwa radiasi matahari di Yogyakarta sama atau lebih tinggi dari radiasi matahari yang cukup (referensi) untuk budidaya mikroalga (795 kWh/m2). Nilai t hitung (0,65) lebih tinggi dari nilai t tabel (-1,74). Jika digabungkan, temuan kami menunjukkan bahwa sinar matahari alami di Yogyakarta cukup sebagai sumber pencahayaan untuk budidaya mikroalga.
Penulis: Prof. Dr. Lucia Tri Suwanti, drh., M.P.
Link jurnal: Potential of natural sunlight for microalgae cultivation in Yogyakarta