Sindrom Distress Pernafasan Akut (ARDS) adalah komplikasi paling umum dari COVID-19 (60 – 70% pasien yang dirawat di ICU), diikuti oleh syok (30%), disfungsi miokard (20-30%) dan cedera ginjal akut (10-30%). Sebuah studi awal di Cina melaporkan bahwa ARDS pada COVID-19 memiliki tingkat kematian 28 hari sebesar 74%.
Surfaktan Protein-D (SP-D) merupakan biomarker cedera epitel paru, yang diproduksi oleh sel alveolar tipe II dan berperan penting dalam menjaga integritas alveolar-kapiler. Mekanisme SP-D di alveolar yang memasuki sistem sirkulasi masih belum sepenuhnya dipahami, tetapi Hart et al. menyatakan bahwa dalam kondisi inflamasi, seperti ARDS, peningkatan permeabilitas alveolar-kapiler dapat menyebabkan kebocoran SP-D alveolar ke dalam sirkulasi sistemik. SP-D juga diduga sebagai penanda kerusakan paru yang lebih spesifik, sehingga dapat digunakan sebagai penanda awal cedera paru.
Beberapa penelitian tentang SP-D telah dilakukan, salah satunya adalah penelitian tahun 2009 oleh Delgado et al. yang bertujuan untuk mengetahui hubungan SP-D dengan mortalitas infeksi virus H1N1. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa kadar serum SP-D yang lebih tinggi dikaitkan dengan risiko kematian pada pasien pneumonia H1N1. SP-D sebagai penanda epitel paru telah terbukti sebagai biomarker prognostik yang dapat memprediksi luaran infeksi virus H1N1 dan pada kasus non-COVID-19, namun belum banyak penelitian tentang peran SP-D dalam COVID-19.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan kadar surfaktan protein-D (SPD) serum dengan tingkat keparahan sindrom gangguan pernapasan akut (ARDS) dan kematian pada COVID-19.
Penelitian ini merupakan penelitian kohort prospektif yang melibatkan 76 pasien. Penelitian dilakukan di ruang isolasi COVID-19 dan ICU RS Dr Soetomo Surabaya periode Juli-Oktober 2020. Populasi penelitian terdiri dari pasien yang dirawat di ruang isolasi dan ICU RS Dr Soetomo Surabaya periode Juli 2020 – Oktober 2020. Semua pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dimasukkan dalam sampel penelitian. Kriteria inklusi adalah: pasien diagnosis terkonfirmasi COVID-19 dan berusia 18 tahun ke atas. Kriteria eksklusi adalah: pasien PPOK, asma dan infeksi tuberkulosis; pasien dengan penyakit autoimun, immunocompromised atau mereka yang menggunakan obat imunosupresan; dan pasien dengan keganasan atau menerima pengobatan kemoterapi. Para pasien menjalani tes COVID-19, analisis gas darah, dan kadar serum SP-D saat masuk rumah sakit.
Dalam penelitian ini, rata-rata kadar serum SP-D secara keseluruhan lebih rendah dari nilai rata-rata SP-D pada kasus H1N1 (39,33 ng/mL vs 434,5 ng/mL). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang signifikan antara kadar serum SP-D dan tingkat keparahan ARDS, tetapi dengan kekuatan korelasi yang lemah, sedikit berbeda dengan penelitian Kerget et al. dan Saito et al.. Hal ini mungkin disebabkan karena perbedaan karakteristik subjek penelitian (terutama jenis ras dan penyakit penyerta), dan hari pengambilan serum SP-D. Hasil analisis penelitian ini juga menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara kadar SP-D serum pada hari ke-0 dengan mortalitas. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa kadar SP-D serum memiliki kekuatan korelasi yang signifikan dan lemah dengan tingkat keparahan ARDS, tetapi tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan mortalitas.
Penulis: Dr. Anna Surgean Veterini, dr., Sp.An.KIC
Informasi detail dari tulisan ini dapat dilihat pada:
http://www.ama.ba/index.php/ama/article/view/485/pdf
Agustama A, Surgean Veterini A, Utariani A. Correlation of Surfactant Protein-D (SP-D) Serum Levels with ARDS Severity and Mortality in Covid-19 Patients in Indonesia. Acta Med Acad. 2022 Apr;51(1):21-28. doi: 10.5644/ama2006-124.366. PMID: 35695399.