Penyebaran COVID-19 secara global pada tahun 2020 telah menyebabkan adanya penurunan penyaluran kredit serta peningkatan risiko kredit perbankan akibat penurunan kinerja debitur. Sebagai upaya mitigasi dampak tersebut, otoritas perbankan di berbagai negara telah mengeluarkan mengeluarkan pedoman terkait dengan pelonggaran syarat dan ketentuan pinjaman untuk debitur yang terkena dampak COVID-19. Pemerintah Indonesia melalui OJK telah mengeluarkan beberapa kebijakan stimulus perekonomian nasional yang memberikan kelonggaran pada debitur terdampak COVID-19. Penelitian ini akan berfokus pada pembahasan konsep perjanjian kredit sindikasi di Indonesia serta kebijakan restrukturisasi kredit sindikasi yang diberlakukan di masa normal dan di masa pandemi COVID-19. Adapun dalam pembahasan tersebut juga akan disajikan dengan komparasi aturan maupun kebijakan di negara-negara lain, sebagai bahan perbandingan untuk dikaji. Penelitian ini menemukan bahwa terdapat persamaan konstruksi hukum perjanjian kredit biasa dan kredit sindikasi sehingga Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No.11/POJK.03/2020 berikut perubahannya dapat diberlakukan atas kredit sindikasi juga. Kelonggaran yang diberikan kepada debitur dalam hal restrukturisasi selama pandemi meliputi kualitas kredit yang direstrukturisasi, mekanisme persetujuan, plafon, jangka waktu restrukturisasi.
Hingga saat ini, belum ada penelitian hukum yang membahas pembiayaan dan restrukturisasi kredit sindikasi di masa pandemi COVID-19. Dalam artikel yang berjudul “Kajian Atas Kredit Sindikasi Ditinjau Dalam Hukum Kontrak”, Aristo Djaman hanya sebatas membahas konstruksi hukum dan kedudukan para pihak dalam Kredit Sindikasi. Akan tetapi, penelitian tersebut belum membahas lebih khusus mengenai pembiayaan dan restrukturisasi kredit sindikasi di masa pandemi COVID-19. (Djaman, 2019) Selain itu, dalam artikel yang berjudul “Impact of the COVID-19 Shock on Banking and Corporate Sector Vulnerabilities in Indonesia”, Reza Y. Siregar dan kawan – kawan baru membahas perihal dampak pandemi COVID-19 dalam dunia perbankan dan penyaluran kredit secara umum. (Siregar et al., 2021) Demikian pula, dalam artikel yang berjudul “Analisis Hukum Relaksasi Kredit Saat Pandemi Corona Dengan Kelonggaran Kredit Berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 11/POJK.03/2020”, Dhevi Nayasari Sastradinata dan Bambang Eko Muljono telah membahas adanya kebijakan kelonggaran dalam pembiayaan dan restrukturisasi kredit secara umum di masa pandemi COVID-19. Akan tetapi, penelitian tersebut belum membahas lebih lanjut mengenai kebijakan tersebut apabila dikaitkan dalam konteks kredit yang bersifat khusus, yaitu kredit sindikasi dengan para pihak yang lebih kompleks.
Selain perubahan – perubahan untuk mempermudah penyaluran kredit sindikasi secara prosedural, pemerintah Indonesia juga menerapkan kebijakan penjaminan pemerintah bagi pelaku usaha tertentu yang terdampak pandemi COVID-19. Pasal 16 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2020 Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional dalam Rangka Mendukung Kebijakan Keuangan Negara untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan serta Penyelamatan Ekonomi Nasional, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2020 menyatakan, bahwa dalam rangka menjalankan Program Pemulihan Ekonomi Nasional, pemerintah dapat memberikan penjaminan. Kebijakan tersebut kemudian ditindaklanjuti dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 98/PMK.08/2020 Tentang Tata Cara Penjaminan Pemerintah Untuk Pelaku Usaha Korporasi Melalui Badan Usaha Penjaminan Yang Ditunjuk Dalam Rangka Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional, sebagaimana terakhir telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 27/PMK.08/2022. Menurut Pasal 1 angka 3 peraturan tersebut, penjaminan pemerintah berarti penjaminan yang diberikan untuk dan atas nama Pemerintah oleh Menteri melalui badan usaha penjaminan yang ditunjuk sebagai penjamin atas pemenuhan kewajiban finansial terjamin kepada penerima jaminan dalam rangka pelaksanaan Penjaminan Program PEN. Dalam hal ini, berdasarkan Pasal 6 ayat (1) dan (2) peraturan yang sama, pemerintah telah menugaskan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) dan PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (Persero) (PT. PII) sebagai penjamin.
Patut dicatat bahwa tidak semua pelaku usaha dapat memperoleh penjaminan pemerintah. Hanya pelaku usaha yang memenuhi kriteria dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 98/PMK.08/2020 Tentang Tata Cara Penjaminan Pemerintah Untuk Pelaku Usaha Korporasi Melalui Badan Usaha Penjaminan Yang Ditunjuk Dalam Rangka Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional, sebagaimana terakhir telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 27/PMK.08/2022 yang dapat memperoleh penjaminan pemerintah. Pertama, Pasal 1 angka 5 peraturan tersebut mengatur, bahwa pelaku usaha yang dapat dijamin adalah pelaku usaha di sektor riil dan sektor keuangan yang kekayaan bersihnya di atas Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) atau omzet tahunannya di atas Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah). Kedua, Pasal 7 ayat (4) dan (4a) peraturan tersebut mengatur, bahwa pelaku usaha harus mempekerjakan tenaga kerja minimal 100 (seratus) orang. Akan tetapi, menteri keuangan juga dapat memberikan pengecualian jumlah tenaga kerja minimal menjadi 50 orang kepada sektor tertentu yang ditetapkan dalam surat menteri. Ketiga, terdampak COVID-19, diantaranya: nilai penjualan maupun laba pelaku usaha mengalami penurunan; sektor industri pelaku usaha terdampak; lokasi usaha pelaku usaha termasuk wilayah yang berisiko; perputaran usaha pelaku usaha terganggu; dan/atau kredit modal kerja sulit diakses oleh pelaku usaha. Keempat, berbentuk badan usaha selain BUMN. Kelima, merupakan debitur existing dan/atau debitur baru dari penerima jaminan. Keenam, memiliki performing loan lancar pada saat pengajuan penjaminan. Ketujuh, bukan merupakan Pelaku Usaha yang telah mendapatkan fasilitas penjaminan Pemerintah sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini yang masih memiliki outstanding atas pembiayaan/pinjaman pada saat sertifikat penjaminan diterbitkan.
Penulis: Hilda Yunita Sabrie, Ananda Amalia Tasya, Harven Filippo dan Anita Maharani
Link Jurnal: https://osf.io/pdn3t