Universitas Airlangga Official Website

Uji Line Probe Assay pada Kasus Baru Tuberkulosis dengan Resisten-Rifampisin yang Tidak Terdeteksi oleh Xpert MTB/RIF

Foto oleh pergunteaodoutor.com.br

Tuberkulosis (TB) masih menjadi masalah kesehatan global yang menyebabkan 9,9 juta kesakitan akibat TB dan 1,3 juta kematian akibat TB di tahun 2020 [1]. Tuberkulosis Resisten Obat (TB-RO) terus menjadi ancaman kesehatan dunia. Di estimasikan kasus TB-RO di dunia sebanyak 465.000 kasus. Indonesia menempati peringkat ke-5 kasus TB-RO dengan kasus sebanyak 24.000 kasus [2]. Resisten terhadap Isoniazid (INH) dan Rifampisin (RIF) merupakan kejadian terbanyak; resisten terhadap kedua obat tersebut merupakan Multidrug-resistant TB (MDR-TB). Secara global, perkiraan terbesar proporsi dari orang yang didiagnosis dengan TB untuk pertama kalinya yang memiliki MDR/RR‑TB tetap sekitar 3%–4% dan estimasi terbaik bagi yang sebelumnya telah mendapat pengobatan adalah antara 18%-21% [1].

Beberapa tahun ini, tes molkekuler cepat dan sensitif telah tersedia untuk menggantikan atau melengkapi tes konvensional sebelumnya untuk mendeteksi Mycobacterium tuberculosis (MTB) dan resistensi obat. Xpert MTB/RIF adalah uji amplifikasi asam nukleat berbasis kartrid otomatis sepenuhnya untuk identifikasi simultan kompleks MTB dan rifampisin resistance (RR) dalam <2 jam dan direkomendasikan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Pemeriksaan ini adalah alat diagnostik FL untuk diagnosis TB untuk dugaan kasus TB [3-5]. Hasil dari uji resistensi RIF pada Xpert MTB/RIF assay digunakan sebagai penanda pengganti untuk MDR-TB tanpa menguji INH [6-7]. Berdasarkan dari regulasi terkini dari program pengobatan MDR-TB di Indonesia, pasien dengan resisten RIF, ditentukan dengan uji Xpert MTB/RIF dengan dianggap sebagai MDR-TB dan diobati dengan obat anti-TB lini kedua.[8] Meskipun resistensi RIF dan INH sering terjadi bersamaan seperti pada strain MDR-TB, muncul resistensi terhadap masing-masing agen secara independen satu sama lain, dan resistensi terhadap satu agen dapat terjadi tanpa resistensi terhadap yang lain.[6] Maka dari itu, pengujian hanya untuk resistensi RIF mungkin tidak diperlukan untuk menolak akses ke INH untuk pasien dengan resistensi INH tingkat rendah atau tanpa INH resistensi (seperti RIF‑monoresisten TB). Di sisi lain, jika Resistansi RIF tidak terdeteksi pada Xpert MTB/RIF, tetapi sebenarnya resistensi terhadap INH ada tanpa diketahui, pengobatan dengan rejimen standar obat TB lini pertama dapat menyebabkan kegagalan pengobatan, dan akuisisi MDR.[9]

Di Indonesia, program pengobatan MDR-TB telah diimplementasikan sejak 2009 dan saat ini direncanakan untuk program pengobatan TB dari TB monoresisten INH (Hr-TB), yang merupakan salah satu obat potensial untuk pengobatan TB selain RIF, namun masih terbatas pada pengobatan ulang. Secara global, terdapat sekitar setengah juta kasus RR-TB, yang 78% kasus tersebut merupakan MDR-TB pada tahun 2018. Selain itu, sekitar 830.000 jiwa menderita TB yang disebabkan oleh MTB resisten INH dan rentan terhdap RIF, disebut sebagai INH-reisten TB (Hr-TB) [3]. Hal ini sangat penting untuk mengetahui proporsi kasus baru Hr-TB, dimana hasil dari uji Xpert MTB/RIF menunjukkan reisten RIF yang tidak terdeteksi. Oleh karena itu, program TB seharusnya tidak hanya tertuju pada kasus pengobatan ulang.

Pasien dengan hasil MTB yang terdeteksi dan RIF yang tidak terdeteksi (tergantung pada hasil Xpert MTB/RIF), WHO merekomendasikan untuk mempertimbangkan penggunaan obat tersebut uji kepekaan (DST) untuk INH jika ada prevalensi tinggi resistensi INH tidak terkait dengan resistensi RIF (yaitu, INH mono‑ atau polyresistance) dalam pengaturan ini (3). Di Indonesia, rekomendasi panduan terbaru untuk memeriksa resisten INH hanya untuk kasus pengobatan ulang dengan hasil Xpert MTB/RIF dengan MTB yang terdeteksi dan RIF yang tidak terdeteksi, dimana kasus baru dengan dengan hasil Xpert MTB/RIF dengan MTB yang terdeteksi dan RIF yang tidak secara lansgung terdeteksi sebagai (DS-TB) dan diobati dengan FL rejimen obat anti-TB [4,10].

Peningkatan pengakuan resistensi obat dan membaik akses ke pengujian molekuler cepat telah menghasilkan lebih banyak program untuk menguji setidaknya RR pada awal pengobatan TB. Pada tahun 2020, WHO menyetujui line probe assays (LPA) sebagai salah satu dari tes cepat untuk diagnosis TB dan DR‑TB. FL‑LPA seperti GenoTip MTBDRplus (HAIN Lifescience, Nehren, Jerman) dan Kit Deteksi NTM + MDRTB (NIPRO Corporation, Osaka, Jepang) memungkinkan deteksi resistensi terhadap RIF, INH, dan etambutol (EMB). WHO merekomendasikan penggunaan FL‑LPA untuk orang dengan spesimen dahak BTA-positif atau kultur isolat MTBC; LPA molekuler komersial dapat digunakan sebagai tes awal alih-alih DST berbasis kultur fenotipik mendeteksi resistensi terhadap RIF dan INH.[3] Selain Xpert MTB/ RIF untuk RIF, LPA dapat mendeteksi mutasi yang umumnya terkait dengan resistensi terhadap RIF, INH (FL‑LPA), fluoroquinolones, dan agen injeksi lini kedua (LPA lini kedua).

Pola resistensi dari MTB bervariasi secara luas di beberapa lokasi geografis. Pengendalian dan pengobatan untuk TB-RO mrmbutuhkan diagnosis yang cepat dan tepat dan Perubahan dalam regimen terapi TB untuk menghindari potensi penguatan resistensi regimen.  Pada metode diagnosis TB terpilih di suatu daerah seharusnya didasarkan pada prevalensi dan pola resistensi lokal.[12]. Penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi pemeriksaan terhadap FL‑LPA terutama untuk mendeteksi resistensi INH pada kasus baru rifampicin‑susceptible TB (RS‑TB) terdeteksi oleh Xpert MTB/ RIF. Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk mengevaluasi kembali kebijakan program diagnosis monoresisten INH hanya untuk RS‑TB pengobatan ulang kasus TB berdasarkan hasil Xpert MTB/RIF.

METODE

Etik

Penelitian ini telah mendapat persetujuan dari komite etik dengan nomor etik 1492/KEPK/IX/2019 pada 9 September 2019. Penelitian ini dilakukan berdasarkan deklarasi Helinski.

Desain dan Populasi Penelitian

Penelitian ini merupakan deskriptif-observasional di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Dr. Soetomo, Surabaya (salah satu rumah sakit rujukan untuk pelayanan TB-MDR di Indonesia bagian Timur) dari bulan Maret 2021 hingga Desember 2021. Sampel sputum diambil dari kasus baru TB-SO yang terdeteksi dari Xpert MTB/RIF. Pasien baru merupakan pasien yang belum pernah mendapat pengobatan TB atau pernah mengambil pengobatan TB <1 bulan.

Pengumpulan Data

Sampel sputum diuji dengan menggunakan FL-LPA (RIF dan INH) sebagai uji cepat molekuler. Sampel dievaluasiuntuk resistensi RIF dan INH berdasarkan kultur DST menggunakan sistem MGIT 960 BACTEC dimana sistem ini juga dapat mengevaluasi obat anti-TB yang lain termasuk EMB. FL-LPA yang digunakan dalam penelitian ini adalah GenoscholarTM. NTM + MDRTB II (Nipro Corporation Limited, Thailand). Uji Xpert MTB/RIF dilakukan di laboratorium mikrobiologi klinik, RSUD Dr. Soetomo Surabaya. DST berbasis kultur menggunakan sistem MGIT 960 BACTEC dilakukan di Balai Besar Laboratorium Kesehatan Surabaya yang telah disertifikasi oleh WHO. Uji FL-LPA dilakukan di Lembaga Penyakit Tropis, Univesitas Airlangga. Hasil dari FL-LPA dan DST berbasis kultur dikomparasikan dan ditampilkan dalam bentuk frekuensi dan persentase.

HASIL

Berdasarkan hasil Xpert MTB/RIF, penelitian ini melibatkan 54 kasus baru TB-SO dengan rata-rata usia 43.3 tahun, terdiri dari 38 (70,4%) pria dan 16 (29,6%) wanita. Diabetes mellitus merupakan komorbid paling banyak ditemukan pada pasien TB dengan jumlah 11 (20,4%) pasien, dimana 20 (37%) pasien merupakan perokok.

FL-LPA berhasil mendeteksi adanya resistensi INH pada 4 (4,7%) pasien TB-SO kasus baru , sedangkan DST berbasis kultur mendeteksi resistensi INH pada 5 (9,3%) pada pasien TB-SO kasus baru. FL-LPA juga mendeteksi adanya resistensi RIF pada 1 (1,9%) pasien TB-SO kasus baru, sedangkan DST berbasis kultur mendeteksi resistensi RIF pada 2 (3,7%) pada pasien TB-SO kasus baru dan DST berbasis kultur juga dapat mendeteksi resistensi EMB pada 4 (7,4%) pasien TB-SO kasus baru.

KESIMPULAN

Lini pertama – LPA berhasil menunjukkan 4 (7,4%) Hr-TB pada TB-So kasus baru (berdasarkan Xpert MTB/RIF). Baris pertama – tes probe baris berhasil mengungkapkan 4 (7,4%) Hr-TB dalam kasus baru RS-TB (menurut Xpert MTB/RIF). Mengambil DST untuk resistensi INH juga penting untuk semua kasus baru RS‑TB. Dalam kasus baru dengan TB-SO terdeteksi oleh Xpert MTB/RIF, FL‑LPA dapat digunakan dengan cepat DST molekuler untuk mendeteksi resistensi RIF dan INH diikuti oleh DST berbasis kultur untuk memeriksa resistensi obat lain. Hal ini dapat digunakan untuk mengevaluasi kembali kebijakan monoresisten INH program diagnosis hanya untuk RS‑TB kasus TB pengobatan ulang berdasarkan hasil Xpert MTB/RIF. Selanjutnya, studi dengan sampel yang lebih besar dapat dilakukan di Indonesia untuk dianalisis prevalensi Hr-TB pada kasus TB baru.

Penulis: Dr. Soedarsono, dr., Sp.P(K)

Informasi detail dari riset ini dapat dilihat pada tulisan kami di https://www.ijmyco.org/article.asp?issn=2212-5531;year=2022;volume=11;issue=4;spage=429;epage=434;aulast=soedarsono

Soedarsono Soedarsono, Ni Made Mertaniasih, Helmia Hasan, Tutik Kusmiati, Ariani Permatasari, Deby Kusumaningrum, Whendy Wijaksono

Line Probe Assay Test in New Cases of Tuberculosis with Rifampicin Resistant Not Detected by Xpert MTB/RIF. Int J Mycobacteriol 2022;11:429-434 10.4103/ijmy.ijmy_176_22