UNAIR NEWS – Kanker paru-paru saat ini menduduki peringkat ketiga terbanyak dialami masyarakat Indonesia. Topik itu menjadi topik hangat dalam siaran langsung Dokter UNAIR TV pada Senin (13/2/2023). Segmen bertajuk Tutup Kesenjangan Pelayanan Dini Pelayanan di Hari Kanker Sedunia dari Sudut Paru itu mengundang Dr Laksmi Wulandari dr SpP(K), FCCP dan dr Irmi Syafa’ah SpP(K).
“Gejala umum yang biasanya dirasakan oleh penderita kanker paru-paru adalah batuk, sesak napas, nyeri dada, dan berat badan menurun tanpa sebab. Nah, biasanya, jika sudah mengalami gejala respirasi tadi, itu tandanya kankernya sudah di tahap lanjut,” ungkap Dr Laksmi.
Di Indonesia terdapat beberapa kesenjangan yang masih menjadi tantangan, yakni kesenjangan diagnosis dini (screening), diagnosis, dan terapi. “Oleh karena lokasinya yang dalam, proses screening tidak dapat berjalan semudah bagian tubuh lain yang berada di permukaan, contohnya kelenjar mammae,” ujar dr Irmi.
Proses diagnosis, Dr Laksmi menambahkan, contohnya biopsi, tidak menyebabkan penyebaran kanker sehingga masyarakat tidak perlu was-was untuk senantiasa mengecek apabila merasakan gejala kanker paru-paru. “Harus segera melakukan CT scan agar bila letak sel kanker tersembunyi, atau sel kanker terlalu kecil, kita bisa segera menangani,” pesannya.
Seiring dengan perkembangan teknologi, beberapa fasilitas kesehatan canggih kerap menjadi pilihan dalam diagnosis kanker paru-paru. Namun, tidak dapat dipungkiri, asuransi kesehatan belum mampu untuk mendanai fasilitas serta tenaga kesehatan yang telah berkembang.
“Rumah sakit tipe C, saya rasa memiliki fasilitas foto toraks, tapi tidak dengan CT scan yang dimiliki oleh rumah sakit tipe A dan B. Mungkin ada (CT scan, red), tapi terbatas hanya untuk pembiayaan mandiri,” kata dr Irmi.
Menurut Dr Laksmi, akan lebih baik apabila masyarakat melakukan low dose CT scan yang teratur di rumah sakit tipe C dari pada memilih untuk CT scan di rumah sakit tipe A atau B ketika memang sudah merasakan gejala. “Semakin dini pemeriksaan, maka akan semakin besar juga risiko keberhasilan pengobatan kuratif,” tutupnya. (*)
Penulis: Leivina Ariani Sugiharto Putri
Editor : Binti Q. Masruroh