Universitas Airlangga Official Website

Mutasi Terkait Resistensi Antibiotik pada Isolat Klinis Helicobacter pylori dari Bangladesh

Foto by KlikDokter

Resistensi antimikroba merupakan masalah kesehatan publik yang serius dan menjadi luas. Pasalnya, kesembuhan pengobatan lini pertama untuk infeksi Helicobacter pylori mengalami angka penurunan. Sementara itu, infeksi H. pylori kronis dapat menyebabkan perkembangan penyakit gastroduodenal seperti kanker perut dan penyakit tukak lambung. Para pakar ahli mengemukakan bahwa pengobatan infeksi H. pylori sangat dianjurkan dengan memodifikasi pengobatan berdasarkan kepekaan uji antimikroba terhadap target infeksi. Hal tersebut, diharapkan dapat meningkatkan tingkat pemberantasan dan menurunkan tingkat resistensi antimikroba secara global. Namun, beberapa penelitian masih mengalami kegagalan pemberantasan resistensi antimikroba. Pada dasarnya, kesenjangan pengetahuan dalam mekanisme yang menjadi dasar resistensi antibiotik. Oleh karena itu, diperlukan pemahaman tentang faktor-faktor yang menyebabkan resistensi antimikroba untuk memberantas dan mengatasi infeksi H. pylori secara efektif.
Pemakaian antibiotik klaritromisin, amoksisilin, dan inhibitor pompa proton telah menjadi rejimen awal untuk memberantas infeksi H. pylori. Klaritromisin makrolida menghambat fungsi 23S rRNA pada mekanisme sintesis protein. Pasalnya, telah dilakukan berbagai pengamatan secara global bahwa mutasi di gen 23S rRNA sebagai sumber berkembangnya resistensi, dengan jenis mutasi yang bervariasi di lokus 2146, 2147, dan 2182. Adapun gen lain, termasuk infB, juga dikaitkan dengan munculnya resistensi. Sementara itu, telah ditemukan bahwa mutasi pada kelompok gen protein pengikat penisilin signifikan terhadap resistensi amoksisilin. Metronidazole dan levofloxacin menjanjikan prospek yang signifikan untuk rejimen alternatif pengobatan infeksi H. pylori. Namun, resistensi terhadap levofloxacin dan metronidazole terus meningkat. Bila resistensi levofloxacin mengakibatkan mutasi pada gen gyrB, maka terjadi mutasi pada gen gyrA terutama terjadi pada lokus N87 dan D91. Adapun resistensi metronidazole, melibatkan banyak gen potensial, termasuk rdxA dan frxA. Selain itu, hasil investigasi menunjukkan bahwa terdapat gen tambahan yang juga berperan termasuk ribF, mdaB, dan omp11.
Bila dibandingkan dengan spesies bakteri lain, genom H. pylori sangat beragam. Keanekaragaman genom juga mempengaruhi materi genetik yang terkait dengan resistensi antimikroba, seperti beberapa daerah yang memiliki sifat unik pada gen atau level polimorfisme nukleotida tunggal (SNP). Berdasarkan beberapa riset masih menemukan bakteri resisten yang tidak mengalami mutasi. Oleh karena itu, suatu populasi harus mengkaji mekanisme resistensi tingkat SNP secara komprehensif.. Berdasarkan dari gambaran di atas, peneliti dari Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran, RSUD Dr. Soetomo, Universitas Airlangga berhasil mempublikasikan hasil penelitiannya di salah satu jurnal Internasional terkemuka, yaitu antibiotics. Penelitian tersebut bertujuan untuk menguji mutasi gen pada varian yang dikenal dan baru yang terlibat dengan resistensi antimikroba (AMR) pada isolat klinis dari pasien Bangladesh terhadap amoksisilin, klaritromisin, levofloksasin, dan metronidazol.
Menariknya, peneliti menemukan tingkat resistensi klaritromisin tinggi, 39,3% (22/56). Mutasi dari A2147G secara signifikan terkait dengan resistensi tetapi tidak pada lokus A2146G. Selain itu, levofloxacin juga menimbulkan resistensi yang tinggi. Adapun mutasi pada lokus D91N (tetapi bukan D91Y) dan N87K dari gen gyrA dikaitkan dengan resistensi levofloxacin. Mutasi di lokus A343V dari gen gyrB juga menunjukkan hubungan yang signifikan. Sementara itu, di gen pbp1a, beberapa mutasi mungkin menjelaskan resistensi; antara lain adalah G594fs, K306R, N562Y dan V45I. Prevalensi metronidazol sangat tinggi (96,4%), dan banyak mutasi terjadi pada gen rdxA, termasuk pemotongan gen. Hasil ini menyiratkan bahwa mutasi pada gen yang mengkode protein target antibiotik tetap menjadi hal yang kritis terhadap mekanisme resistensi di H. pylori.
Kesimpulan pada penelitian ini menekankan fakta bahwa ada korelasi yang signifikan antara genetik H. pylori dengan resistensi fenotip. Hal ini memungkinkan prediksi fenotip klaritromisin, resistensi amoksisilin, metronidazol, dan levofloksasin dalam jangka waktu yang relevan secara klinis berdasarkan informasi genotip di gen 23S rRNA infB, pbp1a, gyrA, gyrB, dan rdxA, dengan konkordan substansial. Adapun manfaat dari hasil penelitian ini adalah memfasilitasi penentuan kerentanan obat secara cepat dalam mempersonalisasi pengobatan untuk meningkatkan keefektifan pemberantasan H. pylori.

Informasi detail dari penelitian ini dapat dilihat pada link artikel berikut:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC7409119/#:~:text=A%20number%20of%20known%20antibiotic%20resistance%20mutations%20were,rRNA%20gene%20%28A1410G%2C%20C1707T%2C%20A2167G%2C%20C2248T%2C%20and%20C2922T%29.

Penulis: Yoshio Yamaoka