Attention-Deficit/Hyperactivity Disorder (ADHD), atau Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas (GPPH) adalah gangguan neurodevelopmental yang umum dijumpai pada anak usia sekolah dasar. Gejala-gejala yang termanifestasi pada anak dengan ADHD umumnya muncul sebelum usia 12 tahun dan dikelompokkan menjadi tiga golongan subtipe, yakni subtipe hiperaktif/impulsif, inatentif serta kombinasi keduanya. Kumpulan gejala tersebut dapat teramati di dua setting yang berbeda, baik di lingkungan rumah maupun di sekolah. Meskipun penyebab pasti ADHD belum diketahui hingga saat ini, faktor genetik dan lingkungan banyak disebutkan di berbagai riset dan literatur. Risiko ADHD lebih tinggi pada anak laki-laki dibandingkan anak perempuan. 3-5% anak di dunia ditemukan terdiagnosis dengan ADHD. Adapun di Indonesia, prevalensi ADHD meningkat setiap tahunnya sebanyak 2,4% pada siswa sekolah dasar.
ADHD selain dapat berpengaruh terhadap kehidupan sehari-hari seorang anak juga dapat menjadi beban untuk orang tuanya yang memberikan asuhan. Ketergantungan anak dengan ADHD kepada ibunya disebutkan pada beberapa penelitian sebelumnya, meskipun ibu juga cenderung rentan terhadap tekanan emosional dibandingkan ayah. Membimbing anak dengan ADHD dapat membawa rasa bersalah, malu, putus asa, dan kecemasan ketika beban yang dirasakan ibu sudah menjadi berat yang kemudian akan memengaruhi kesehatan, ketakutan, dan kualitas hidup ibu. Akibatnya, asuhan ibu yang diberikan kepada anak dengan ADHD pun tidak optimal.
Beberapa studi sebelumnya pernah menganalisis pengaruh faktor sosiodemografis terhadap tingkatan beban yang dirasakan caregiver anak dengan ADHD, tetapi studi serupa belum dilakukan di Surabaya, Indonesia. Oleh karena itu, studi ini pun dilakukan dengan tujuan menganalisis tingkat beban ibu dari anak dengan gejala ADHD di SD Kota Surabaya serta hubungan faktor sosiodemografis dengan beban yang dirasakan.
Penelitian cross-sectional ini melibatkan 36 orang ibu anak dari populasi sebanyak 324 orang yang sesuai dengan kriteria yang ditentukan menggunakan teknik total sampling di SD Barata Jaya dan SD Semolowaru I/261 Surabaya. Kuesioner penilian terdiri dari kuesioner sosiodemografis, SPPAHI, dan Zarit Burden Interview yang dilampirkan dalam satu set kertas cetak. Perolehan data dianalisis secara univariat dan bivariat dengan uji Chi-Square. Nilai p < 0,05 mengindikasikan korelasi signifikan.
Jumlah siswa perempuan dengan gejala ADHD pada studi ini lebih sedikit (47,2%) dari siswa laki-laki (52%). Sebagian besar siswa tergolong ke dalam subtipe inatentif (80%), diikuti oleh kelompok lainnya yaitu subtipe kombinasi (16,7%) dan hiperaktif/impulsive (5,6%). Mayoritas ibu merupakan lulusan sekolah menengah atas (SMA), sebagai rumah tangga (66,7%), menikah (77,8%), dan berpenghasilan kurang dari Rp 1.500.000,00 (41,7%).
Ibu sebagian besar terkategori mengalami beban minimum hingga tidak ada beban sama sekali (63,9%), diikuti oleh kelompok beban minimun hingga sedang (36,1%). Tidak ada ibu yang tergolong ke dalam kelompok beban sedang hingga berat maupun berat. Analisis pada studi ini menghasilkan kelima faktor sosiodemografis, yakni umur (p=0,723), pendidikan (p=0,722), pekerjaan (p=0,399), status pernikahan (p=0,458), dan pendapatan (p=0,969) tidak memiliki hubungan yang signifikan terhadap beban yang dirasakan ibu.
Sebagian besar anak dengan inatentivitas pada studi ini adalah siswa perempuan. Inatentivitas membuat anak sulit memulai tugas yang harus mereka kerjakan serta menjaga konsentrasi mereka tanpa distraksi apapun yang akhirnya berpengaruh pada cara belajar mereka. Mereka juga rentan terhadap demotivasi dibandingkan anak sebayanya sehingga mereka memerlukan waktu yang lebih lama untuk menyelesaikan tugas. Manifestasi gejala ADHD dapat berlanjut hingga anak mencapai usia dewasa dan dapat berpengaruh pada pekerjaan mereka nanti, kehidupan sosial, munculnya cemas, hingga depresi. Oleh karena itu, guru dan orang tua dari anak dengan gejala ADHD harus dapat memberikan dukungan dan bimbingan terbaik mereka. Hal ini dapat dimulai dari peningkatan awareness mengenai ADHD oleh guru dan orang tua serta deteksi dini gejala ADHD pada anak-anak dalam institusi pendidikan dasar untuk memberantas stigama mengenai ADHD dan pengarahan anak dengan ADHD secara dini pula.
Beban yang dirasakan pada studi ini sebagian besar berada pada tingkat minimum hingga tidak ada beban sama sekali. Hasil penelitian sebelumnya bervariasi dan diperkirakan oleh kondisi geografis dan kualitas pelayanan kesehatan mental yang berbeda-beda dan belum merata. Hubungan faktor sosiodemografis dengan caregiver burden pada studi ini tidak signifikan, meskipun beberapa penelitian melaporkan hasil yang berbeda Kerentanan terhadap burnout meningkat seiring usia bertambah sehingga asuhan tidak dapat maksimal. Pendidikan dapat menentukan kemampuan seseorang dalam lebih matur dalam mengendalikan emosi. Penelitian yang menilai beban pengasuh yang telah menikah menunjukkan bahwa mereka kurang mendapatkan privasi untuk mereka sendiri maupun bersama pasangannya. Terakhir, pendapatan pada beberapa penelitian secara signifikan berpengaruh terhadap beban, didukung oleh teori pendapatan diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pengasuhan anak dengan ADHD dan juga kehidupan caregiver tersebut.
Penulis: Saskia Rezky de Lorient, Dr. Yunias Setiawati, dr., Sp.KJ(K), FISCM, Dr. Hanik Badriyah Hidayati, dr., Sp.N(K), Dr. Purwo Sri Rejeki, dr., M.Kes
Informasi detail dari studi ini dapat dilihat di: https://www.ijscia.com/relationship-between-sociodemographic-factors-and-caregiver-burden-among-mothers-of-elementary-school-students-with-adhd-symptoms-in-surabaya-a-cross-sectional-study/