Universitas Airlangga Official Website

Pilihan Antihipertensi dalam Kehamilan pada Sumber Daya Terbatas

Foto by Eka Hospital

Hipertensi dalam kehamilan terjadi pada 7% pasien hamil, diantaranya 3% memiliki hipertensi sebelum kehamilan  (hipertensi kronis) dan 4% terjadi saat kehamilan (preeklampsia/ eclampsia). Menurut survei WHO tahun 2013 tentang kesehatan ibu dan bayi baru lahir, kejadian preeklampsia dan eklampsia masing-masing adalah 2,5% dan 0,3% di antara 314.623 wanita dari Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Hipertensi ini menjadi penyulit dalam kehamilan dan sesudah persalinan. Hipertensi dalam kehamilan tidak hanya menjadi penyebab utama kematian ibu yang terjadi pada tiga hari pertama setelah persalinan, namun juga berdampak pada kesehatan ibu hingga jangka panjang.

Sehingga diperlukan pengobatan hipertensi untuk mengendalikan tekanan darah pada ibu saat kehamilan. Hal ini adalah sebuah tantangan karena pengobatan pada ibu hamil juga dapat memberikan risiko pada janin. Pemilihan obat ini harus dengan kehati-hatian dan mempertimbangkan kondisi ibu dan janin. Obat antihipertensi yang banyak digunakan saat ini antara lain penghambat kanal kalsium (nifedipine), hydralazine, labetanol dan central alfa agonis (metildopa). Namun tidak disemua negara tersedia jenis antihipertensi tersebut. Di Indonesia obat antihipertensi yang banyak digunakan yakni penghambat kanal kalsium (nifedipine dan central alfa agonis (metildopa), labetanol tidak digunakan karena tidak tersedia. Penggunaan terapi kombinasi menggunakan kedua obat metildopa dan nifedipine menjadi pilihan pengobatan hipertensi pada ibu hamil dibandingkan penggunaan terapi tunggal, dikarenakan terapi kombinasi lebih cepat mencapai target dengan dosis yang tidak terlalu tinggi.  Akan tetapi penggunaan terapi kombinasi juga memiliki efek dibandingkan ibu dengan terapi tunggal. Salah satu efek dari terapi kombinasi adalah peningkatan detak jantung ibu (takikardia) sehingga lebih banyak ibu yang mengalami komplikasi serta resiko terjadinya penurunan tekanan darah yang terlalu rendah sehingga berakibat pada aliran darah ke plasenta sehingga beresiko pada janin.

Hal ini yang melatarbelakangi dilakukannya penelitian terkait Pemilihan Antihipertensi Selama Kehamilan dalam pilihan sediaan  yang terbatas dengan tujuan untuk mengetahui pola pengguanaan obat antihipertensi pada kehamilan di negara berpenghasilan menengah kebawah dan dampak obat tersebut terhadap ibu dan janin. Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Dr. Soetomo di Surabaya, Indonesia, dengan sampel sebanyak 762 pasien wanita hamil dengan hipertensi yang dirawat di Instalasi Gawat Darurat rumah sakit selama tahun 2019-2020 yang meliputi 61 pasien preeklampsia (PE), 491 preeklampsia dengan gejala berat (PEB) dan 174 kasus hipertensi kronis (HT). Data diambil dari catatan rekam medis pasien.

Usia rata – rata ibu hamil yang mengalami hipertensi adalah 31 tahun dengan usia minimal 15 tahun dan maksimal 49 tahun, rata – rata usia kehamilan saat terdiagnosis hipertesi lebih dari 33 minggu. Obesitas tercatat pada 51% pasien dan 6.6% diantaranya mempunyai gangguan ginjal. Rata-rata tekanan darah sistolik saat masuk rumah sakit adalah 162.53 (80-260) mmHg dan tekanan diastoliknya adalah 100.98 (50-159) mmHg. Delapan puluh satu  persen ibu hamil dengan hipertensi ini mendapatkan terapi anti hipertensi. baik nifedipine, metyl dopa dalam sediaan tunggal maupun kombinasi nifedipine dan metyl dopa.  Obat antihipertensi yang paling banyak diresepkan adalah terapi kombinasi nifedipin dan metildopa (96.7%), disusul metyl dopa (2.3%), Nicardipin (1.15) dan nifedipine (0.2%) kasus. Regulasi tekanan darah sistolik < 160 mmHg tercapai pada 96.5% kasus, sedangkan regulasi tekanan darah diastolic < 85 mmhg hanya tercapai pada 40.9% kasus. Efek samping yang tercatat pada penelitian ini adalah peningkatan denyut jantung yang cepat (takikardia) pada 47 pasien (7.9%) kasus dan tidak didapatkan komplikasi penurunan tekanan darah yang terlalu rendah (hipotensi) maupun aritmia (gangguan irama jantung.

Pada penelitian ini nifedipine yang digunakan Sebagian besar adalah jenis nifedipine dengan waktu kerja yang cepat, yang biasanya digunakan untuk menurunkan tekanan darah secara cepat pada kasus hipertensi darurat. Berbagai pedoman merekomendasikan penggunaan nifedipine pelepasan lambat (extended release). Penggunaan ini dimaksudkan untuk menghindari penurunan tekanan darah yang terlalu cepat. Namun karena fasilitas yang terbatas dan hanya terdapat satu merek dagang di Indonesi, penggunaan nifedipine masa kerja pendek lebih digunakan. Penggunaan nifedipine jangka pendek dapat menyebabkan penurunan tekanan darah yang terlalu tajam, namun dalam penelitian ini tidak mencatat adanya penurunan tekanan darah terlalu cepat bahkan masih memerlukan terapi tambahan dari metildopa. Hal tersebut dimungkinkan karena ibu hamil masih dalam rentang usia muda (<40 tahun) sehingga respon pembuluh darahnya masih cukup baik.

Kesimpulan dalam penelitian ini adalah, penghambat kanal kalsium (nifedipin) dan agonis alfa sentral (metildopa) adalah pilihan antihipertensi yang tepat pada sumber daya yang terbatas, baik monoterapi atau kombinasi. Nifedipin pelepasan segera (nifedipine) dapat menjadi alternatif jika nifedipin pelepasan lambat tidak tersedia, dengan risiko hipotensi yang rendah.

Penulis: Ernawati

Jurnal: https://scholar.unair.ac.id/en/publications/antihypertensive-choices-during-pregnancy-in-limited-setting#:~:text=Conclusion%3A%20Nifedipine%20and%20methyldopa%20are,resources%2C%20either%20monotherapy%20or%20combined.