Peran kurator bukanlah jabatan yang ditunjuk di dalam badan atau lembaga Indonesia. Namun, proses serupa dapat diamati yang melibatkan aktor pemerintah Indonesia yang bekerja secara informal untuk menyelesaikan masalah yang kompleks. Misalnya, Luhut Binsar Panjaitan (dikenal luas sebagai Luhut) bisa dibilang berfungsi sebagai kurator. Luhut, orang kepercayaan Jokowi, ditugasi menjaga kepentingan ekonomi pemerintah dengan RRT, meski ada ketegangan di LCS. Di bawah pemerintahan Jokowi, ia menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, membawahi Kementerian Perhubungan, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Pariwisata serta Energi dan Sumber Daya Mineral. Dalam praktiknya, beliau berada di garda depan berbagai program pemerintah, terutama yang menyangkut kebijakan terhadap RRT.
Misalnya, ia membentuk dan memimpin gugus tugas Global Maritime Fulcrum (GMF) yang ditunjuk untuk mengawasi pelaksanaan proyek Belt and Road Initiative (BRI) RRT dengan melibatkan kementerian dan lembaga negara terkait. Karena itu, ia mampu berperan sebagai agen perantara pemerintah pusat untuk memimpin kebijakan yang tidak bertentangan dengan lembaga formal.
Dengan menggunakan ruang informal seperti backchanneling, bargaining, lobbying, atau bahkan coercion, kurator dapat meredam persaingan antar birokrasi yang berbeda saat membuat kebijakan. Dengan begitu, semua lembaga formal dengan kepentingan dan tugas yang bertentangan akan dikoordinasikan oleh agen informal yang menyelaraskan kebijakan dengan kepentingan presiden.
Seorang kurator bertanggung jawab atas nama presiden dan karenanya melindungi presiden dari segala potensi dampak negatif. Dalam beberapa kasus, seorang presiden mungkin ingin mengejar agenda kebijakan luar negeri yang belum tentu populer di kalangan publik atau yang dapat menimbulkan kontroversi atau oposisi politik. Dengan menggunakan agen informal untuk memajukan agenda tersebut, presiden dapat menjauhkan diri dari kebijakan dan membelokkan kritik atau penentangan kepada kurator. Ini bisa sangat berguna ketika presiden ingin mempertahankan modal politiknya dan menghindari reaksi balik dari publik atau aktor politik lainnya.
Selain itu, agen-agen tersebut mungkin memiliki fleksibilitas dan keleluasaan yang lebih besar dalam melaksanakan agenda kebijakan luar negeri presiden, khususnya ketika menghadapi hambatan birokrasi atau terlibat dalam negosiasi diplomatik yang sensitif. Dengan mendelegasikan wewenang kepada agen informal, presiden dapat memberdayakan agen tersebut untuk bertindak cepat dan tegas, tanpa terperosok dalam prosedur birokrasi atau perhitungan politik.
Penulis: I Gede Wahyu Wicaksana
Jurnal: https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/03932729.2023.2235140