Universitas Airlangga Official Website

Bagi Jakarta, Merdeka dari Polusi itu Sudah Cukup

Foto by Epaper Media Indonesia

Bagaimana kalau udara pagi yang kamu harapkan segar untuk dihirup justru mengandung partikel berbahaya yang akan mengganggu saluran napasmu? Atau bagaimana jika kamu memiliki kekuatan super yang bisa melihat partikel kecil di sekelilingmu, dan kamu melihat ternyata udara yang kamu hidup selama ini tak ada bedanya dengan racun, masihkah kamu mau bernapas? Rasanya analogi ini tak berlebihan kalau disandarkan untuk warga Jakarta yang baru-baru ini dinobatkan sebagai kota dengan polusi terburuk di dunia. Iya, Dunia.

Kemacetan, polusi, banjir sudah jadi saudara jauh buat warga Jakarta. Sebagai orang yang saban hari bolak-balik Depok-Jakarta, bagi saya tidak ada bedanya saat Jakarta menjadi kota berpolusi dan tidak. Setiap hari rasanya sama aja, bahkan saking seringnya menghirup racun Jakarta, saya pun tidak sadar kalau polusi Jakarta begitu mengkhawatirkan.

Biarkan Pemerintah Membuat Kebijakan

Bicara Jakarta, sebagaimana kota-kota besar dunia, Jakarta butuh lebih banyak lagi transportasi umum yang nyaman, murah, dan tepat waktu. Saya rasa aneka kebijakan yang diterapkan bukannya tanpa hasil, sebut saja Three in One, Ganjil-Genap, Electronic Road Pricing (ERP), hingga Commuter Line – Trans Jakarta. Tapi apa boleh buat, dibalik setiap aturan, kesempatan melanggar selalu tersedia. Ambil contoh munculnya joki Three in One sampai membeli mobil baru untuk bisa lolos dari jeratan Ganjil-Genap. Tapi saya percaya, masyarakat urban Jakarta bukannya enggan menggunakan transportasi massal. Selama transportasinya tersedia, murah, terjangkau, nyaman, dan tepat waktu, pasti akan laris-laris saja. Kamu tak percaya? Coba lihat, saat integrasi Transportasi Jakarta dibawah naungan Jak Lingko, pengguna transportasi massal semakin banyak, kan?

Namun sebagai korban dari polusi menyebalkan, masyarakat tidak boleh berpangku tangan dan menunggu kebijakan dari pemerintah saja. Nyatanya, kebijakan perihal penanganan polusi itu hanya tentang political will saja. Kalau pemerintah ingin intervensi maksimal masalah ini, mudah-mudah saja, tinggal cabut BBM bersubsidi, suntikan anggaran besar untuk mobil listrik, dan babat habis industri yang enggan ramah pada lingkungan. Tapi jelas saja itu tidak mungkin, kan. Toh membuat kebijakan tidak semudah dan seindah celotehan pengamat di televisi.

Mau Sampai Kapan Kita Diam?

Daripada menunggu pemerintah mengetok kebijakan yang terkadang menyebalkan, mengapa kita tidak mencoba mengubah kebiasaan sederhana? Rasanya begitu banyak kebiasaan buruk yang tampaknya sudah biasa dilakukan Masyarakat tetapi ternyata dampaknya tidaklah kecil untuk andil penyebaran polusi. Sebut saja membakar sampah.

Untuk warga kampung nun jauh di balik bukit, membakar sampah memang menjadi jalan ninja dari tumpukan sampah rumah tangga. Menunggu pemerintah kota mengangkut sampahnya tentu bukan waktu yang sebentar. Akses kepada Tempat Pembuangan Sampah jelas belum sebaik itu. Namun kalau konteksnya adalah Jakarta, sepertinya tidak ada alasan kuat untuk membakar sampah. Alasan kuatnya hanya satu, yaitu “dari dulu memang sudah begini”.

Bagi warga Jakarta, apa sulitnya menunggu truk dinas pengangkut sampah? Andaikan seluruh warga sadar akan bahaya membakar sampah dan mau menegur tetangga yang tidak malu bakar-bakar di siang bolong, pasti polusi akan lebih berkurang. Kamu tahu? zat-zat berbahaya seperti karbon monoksida, formaldehida, arsenik, dioksin, gas chlor, serta karbondioksida akan dihasilkan dari proses itu. Tentunya dapat mencemari udara dan menjadi racun sehingga dapat berbahaya bagi Kesehatan.

Kedua, membuang sampah sembarangan. Bahkan bocah berseragam merah putih sekali pun tau bahwa membuang sampah sembarangan itu perilaku biadab. Kalau kita masih berpikir sampah yang menggenang di selokan depan rumah kita tidak punya dampak besar, kamu salah besar. Nyatanya, Sampah mempunyai kontribusi besar terhadap meningkatnya emisi gas rumah kaca karena tumpukan sampah yang tidak diolah akan melepaskan gas metana/methane (CH4).

Setiap satu ton sampah padat menghasilkan 50 kg gas metana. Selain itu, jumlah penduduk Indonesia yang terus meningkat, diperkirakan pada tahun 2020, sampah yang dihasilkan sekitar 500 juta kg/hari atau 190 ribu ton/tahun. Intinya, tanpa saya harus menyebutkan alasan logis kenapa sampah itu berbahaya untuk lingkungan, Masyarakat sudah tahu kalau itu hal buruk, bukan?

Andaikan setiap kita menahan untuk tidak asal membuang, menahan untuk menunda sampai dapat tempat sampah, alangkah indahnya halaman depan rumah yang tidak dicecerkan oleh bungkus shampo atau snack rasa jagung bakar yang mungkin sudah sejak nenek moyang kita dulu namun belum sempat terurai. Dua langkah sederhana saja dahulu, tidak membakar sampah dan taruh sampah ditempatnya untuk lingkungan yang lebih baik. Pemerintah bekerja dengan aturan yang mengikat dan Masyarakat bergerak dengan langkah sederhana. Dua kolaborasi indah untuk hapuskan racun dari tarikan napas.

Penulis: Afrizal Naufal Ghani (Mahasiswa Ekonomi Islam dan Kepala Departemen Kajian dan Aksi Strategis BEM FEB UNAIR)