Universitas Airlangga Official Website

Korelasi Maloklusi Dengan Profil Wajah pada Penduduk Jawa

Foto by Alodokter

Maloklusi merupakan kecacatan atau kelainan fungsional yang dapat menjadi penghambat kesehatan fisik dan emosional pasien yang membutuhkan perawatan. Di Indonesia, masalah kesehatan gigi dan mulut masih tergolong tinggi. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar Nasional (RISKESDAS) tahun 2018, prevalensi masalah gigi dan mulut sebesar 57,6%. Maloklusi merupakan salah satu gangguan gigi dan mulut yang paling sering terjadi. Meskipun maloklusi tidak mengancam jiwa, maloklusi dapat menyebabkan efek buruk pada interaksi sosial dan kesehatan psikologis pasien. Maloklusi juga merupakan masalah di rongga mulut yang mempengaruhi kualitas hidup seseorang dan gangguan temporomandibular (TMDs); sakit mulut dan stomatitis; karies gigi, gigi hilang, dan tambalan gigi (DMF-T). Maloklusi merupakan masalah kesehatan mulut terbesar ketiga setelah karies gigi dan penyakit periodontal. Beberapa efek maloklusi pada jaringan sekitarnya antara lain meningkatkan risiko karies, cedera gigi traumatis, dan masalah sendi temporomandibular. Faktor genetik dan lingkungan bersama faktor lokal bersama faktor lokal (seperti kebiasaan yang merugikan atau merusak rongga mulut) dapat menyebabkan maloklusi.

Maloklusi dapat disebabkan oleh ketidaksejajaran gigi atau tulang seseorang. Maloklusi gigi diklasifikasikan sebagai relasi gigi molar pertama permanen. Menurut Angle’s klasifikasi maloklusi, relasi molar yang benar dapat terjadi ketika cusp mesiobukal molar pertama maksila berada di alur bukal molar pertama mandibula, dan gigi tersusun dalam garis oklusi yang rapi. Klasifikasi kerangka dapat ditentukan melalui berbagai variasi dari analisis sefalometri. Ketebalan jaringan lunak profil wajah dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain usia, jenis kelamin, dan ras. Profil wajah berhubungan langsung dengan estetika wajah yang selama ini diketahui menjadi salah satu faktor yang dapat mempengaruhi hubungan interpersonal dan kepercayaan diri. Hal ini menjadikan keharmonisan wajah salah satu objek yang diperhatikan dalam perawatan ortodontik. Kestabilan fungsi oklusi juga dapat tercermin melalui keharmonisan wajah.

Sefalometri merupakan salah satu cara untuk mengetahui/mengukur profil wajah seseorang. Penempatan gigi menurut aturan sefalometri tidak menjamin bahwa profil jaringan lunak akan langsung mengikuti profil kerangka. Jaringan lunak yang menutupi gigi dan tulang bisa sangat bervariasi. Oleh karena itu, ada juga analisis sefalometri jaringan lunak menggunakan berbagai metode, antara lain Rickett’s E-line, nasolabial Angle, dan analisis jaringan lunak Holdaway. Selanjutnya, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara maloklusi dan bentuk profil wajah pada populasi Jawa.

Dari hasil penelitian dapat dilihat gambaran nilai rata-rata, nilai normal, dan standar deviasi dari nilai SNA, SNB, ANB, FMA, FMIA, IMPA, Facial Axis, Sumbu Y, Sudut Wajah, Sudut Cembung, Sudut S. – N – Ba, Sudut N – Ba – S, Sudut Ba – S – N, SN – Bidang Mandibula, SN Bidang Maksila, SN – Bidang Oklusal, FH – Bidang Mandibula, FH- Bidang Maksilaris, FH – Bidang Oklusal, Sudut Gonial , Sudut Gonial Atas, Sudut Gonial Bawah, Panjang Maksila, Panjang Mandibula, Wits Appraisal, Titik A – Jarak Tegak Lurus Nasional, Pogonion – Jarak Tegak Lurus Nasion, dan Sudut U1 – NA pada pasien dengan maloklusi Klas I, II, dan III.

Profil wajah Maloklusi Klas I, Klas II dan Klas II berdasarkan klasifikasi Angle. Terdapat gambaran nilai rata-rata, nilai normal, dan standar deviasi dari nilai Holdaway Soft Tissue Analysis yang terdiri dari 11 parameter, diantaranya Sudut Wajah , Lengkungan Bibir Atas, Kecembungan Skeletal di Titik A, H – Garis Sudut, Garis Pn – H, Kedalaman Sulkus Atas, Garis Li – H, Kedalaman Sulkus Bawah, Ketebalan Dagu Jaringan Lunak, Ketebalan Bibir Atas, Ketegangan Bibir Atas pada pasien dengan kelas maloklusi I, II, dan III. Uji korelasi dilakukan dengan uji Pearson Correlation hanya untuk mengetahui apakah ada hubungan antara dua variabel atau lebih dari penelitian atau seberapa signifikan hubungan antara variabel penelitian. Hasil uji Korelasi Pearson dikatakan berkorelasi jika p-value > 0,01 atau p > 0,05. Tabel 3 menunjukkan Hasil Uji Korelasi Bentuk Profil Wajah dengan Maloklusi Kelas I. Hasil Uji Korelasi Bentuk Profil Wajah dengan Maloklusi Kelas II dan Kelas II.

Profil wajah sampel populasi Jawa pada maloklusi kelas I, II, dan III memiliki profil wajah yang cembung. Sampel dengan maloklusi kelas II memiliki bentuk profil yang paling cembung diantara ketiganya. Penelitian ini akan sangat berguna untuk perencanaan perawatan ortodonti di masa mendatang. Penulis berharap penelitian ini dapat digunakan sebagai pedoman perawatan ortodonti dalam menentukan komponen atau variabel yang perlu diubah atau diperbaiki untuk mendapatkan hasil perawatan yang baik dan memuaskan pada aspek keselarasan oklusi dan profil wajah. Penulis merasa perlu melakukan penelitian lebih lanjut dengan kriteria inklusi yang lebih spesifik, seperti membedakan usia, jenis kelamin, ras, dll, agar diperoleh hasil yang lebih detail.

Penulis: I Gusti Aju Wahju Ardani

Link: http://www.jidmr.com/journal/wp-content/uploads/2023/06/50-D23_2214_I_Gusti_Aju_Wahju_Ardani_Indonesia.pdf