Universitas Airlangga Official Website

Optimasi Diagnostik Pendarahan Otak Kronis dengan MRI

Stroke adalah suatu kelainan fungsi saraf yang disebabkan oleh terganggunya aliran darah di otak yang dapat terjadi secara tiba-tiba (dalam beberapa detik) atau secara cepat (dalam beberapa jam) dengan gejala sesuai dengan daerah yang terkena infark serebral (stroke iskemik), perdarahan intraserebral. atau subarachnoid. Di Indonesia stroke menempati posisi ketiga setelah jantung dan kanker. Sebanyak 28,5% pasien meninggal dan sisanya mengalami kelumpuhan sebagian atau total. Hanya 15% yang dapat pulih sepenuhnya dari stroke dan kecacatan. Stroke hemoragik terjadi ketika pembuluh darah di otak pecah atau bocor sehingga menyebabkan pendarahan di otak. Bagian otak yang terkena pendarahan bisa menjadi rusak, dan darah menumpuk sehingga memberi tekanan pada otak. Jumlah perdarahan menentukan tingkat keparahan stroke. Perdarahan Perdarahan subarachnoid disebabkan oleh robeknya selubung antara dura mater dan parenkim otak. Perdarahan subarachnoid pada fase kronis (didiagnosis lebih dari 14 hari setelah trauma).

Penegakan diagnosis perlu dilakukan untuk mengetahui sifat dan sifat kelainan pada otak. Perkembangan teknologi di bidang kedokteran menciptakan alat radio diagnostik yang berguna untuk menunjang pemeriksaan dalam mendeteksi suatu penyakit atau kelainan pada tubuh. Alat radio diagnostik ada beberapa jenis berdasarkan sumbernya yaitu menggunakan radiasi atau non radiasi. Pemanfaatan sumber radiasi pada alat radio diagnostik antara lain Computer Tomography-Scan (CT-Scan) dan Magnetic Resonance Imaging (MRI). MRI merupakan salah satu alat radio diagnostik nonradiatif yang dapat mendeteksi patologi pada otak dan tubuh lainnya melalui hasil gambar.

Pemeriksaan radiologi memerlukan alat radio diagnostik yang efektif untuk melihat kelainan struktur otak (imaging) dan proses pemindaian yang cepat dalam mendeteksi adanya perdarahan otak kronis. Alat radio diagnostik yang paling sering digunakan dalam pemeriksaan adalah CT-Scan dan MRI. Jika dibandingkan dengan CT-Scan, MRI lebih sensitif dan secara anatomis akan terlihat lebih detail karena pemisahan jaringan lunak MRI lebih tinggi karena prinsip dasar pencitraan MRI yang mengacu pada waktu relaksasi setiap jaringan. Meskipun gambar yang dihasilkan CT-Scan bergantung pada koefisien serapan radiasi suatu jaringan, CT-Scan kurang sensitif dalam mendeteksi perbedaan daya adsorpsi beberapa jaringan yang memiliki struktur atom hampir serupa. Magnetic Resonance Imaging (MRI) adalah teknik pencitraan cross-sectional berdasarkan prinsip resonansi magnetik inti atom hidrogen akibat sinyal frekuensi radio (RF) yang memiliki frekuensi sesuai dengan frekuensi presesi (frekuensi Larmor). Teknik pencitraan MRI relatif kompleks karena gambar yang dihasilkan bergantung pada beberapa parameter. Jika pemilihan parameternya tepat maka akan terlihat kualitas gambar detail tubuh manusia, sehingga anatomi dan patologi jaringan tubuh dapat dievaluasi secara cermat.

Aturan protokol diperlukan dalam pemeriksaan setiap bagian tubuh dengan menggunakan MRI, salah satu parameter yang digunakan dalam aturan protokol adalah urutan. Ada beberapa sequence yang digunakan untuk pemeriksaan otak, yaitu sequence T1 FLAIR, T2 Spin Echo, dan T2* Gradient Echo. Dalam penggunaan sequence terdapat faktor Time Echo (TE) dan Time Repetition (TR) yang akan mempengaruhi hasil gambar pada nilai Signal Noise to Ratio (SNR) dan Contrast Noise to Ratio (CNR).

Relaksasi T1 menjadi acuan yang digunakan untuk mendeteksi anatomi, namun dengan penggunaan rangkaian FLAIR dapat menekan Cairan Serebrospinal (CSF) dan mengindikasikan perdarahan karena mendeteksi kandungan darah dengan menekan sinyal air yang mana di otak sinyal air tersebut berasal dari Cairan Serebrospinal ( CSF) jaringan. ). Relaksasi T2 menjadi acuan yang digunakan untuk mendeteksi patologi jaringan, dimana kandungan darah lebih banyak mengandung unsur H dibandingkan air sehingga sinyal darah yang ditangkap pada nilai T2 dengan rangkaian Spin Echo menjadi lebih hipertensi dibandingkan sinyal air. Relaksasi T2* adalah urutan yang digunakan untuk teknik Susceptibility Weighted Imaging (SWI). SWI adalah teknik Magnetic Resonance Imaging (MRI) yang memanfaatkan perbedaan kerentanan magnetik berbagai senyawa, seperti darah, zat besi, dan kalsium. Susceptibility Weighted Imaging (SWI) adalah teknik neuroimaging baru, yang menggunakan perbedaan kerentanan magnetik jaringan untuk menghasilkan kontras intensitas sinyal yang berbeda dari rangkaian T1 FLAIR dan T2 Spin Echo. SWI mengandalkan pulsa sequence Gradient Echo (GRE) yang menggunakan frekuensi radio tunggal dengan menerapkan medan gradien pada jaringan, GRE dapat merekam sinyal dengan cepat sehingga menghasilkan Echo Time (TE) dan Time Repetition (TR) yang lebih singkat. Kontras citra dengan penggunaan sekuens GRE akan ditentukan oleh faktor pembentuk T2*, sehingga pulsa sekuens Gradient-Echo (GRE) lebih sensitif terhadap suseptibilitas atau ketidakhomogenan magnet dibandingkan nilai T1 dan T2, SWI memberikan informasi tentang perbedaan kerentanan jaringan dengan struktur di sekitarnya, seperti darah terdeoksigenasi, hemosiderin, feritin, dan kalsium. Darah berupa feritin di otak mengandung unsur besi, unsur besi mempunyai orbital yang mengandung elektron tidak berpasangan dan termasuk unsur paramagnetik, sehingga darah mudah termagnetisasi.

Penulis : Suryani Dyah Astuti, Suhariningsih dan Nova Ade Firmanto

Informasi detail dari riset ini dapat dilihat pada tulisan kami di:

https://pubs.aip.org/aip/acp/article-abstract/2536/1/060006/2891558/Evaluation-of-the-use-of-sequence-T1-T2-and?redirectedFrom=fulltext