Universitas Airlangga Official Website

Konsumsi Sirih Pinang di Indonesia:Memperkuat atau Membahayakan Kesehatan Gigi?

Mengunyah sirih pinang merupakan salah satu tradisi yang kerap kita jumpai. Saat ini, aktivitas yang biasa disebut dengan nyirih atau nginang ini identik dengan “kebiasaan orang tua”, walaupun pada kenyataannya, kebiasaan ini tidak hanya dilakukan oleh lansia. Namun, nilai yang terkandung dalam tradisi ini terus direproduksi dan diajarkan ke generasi berikutnya, mulai dari nilai-nilai religius, sosial, rekreasi, hingga kesehatan.

Tidak dapat dipungkiri bahwa tradisi ini masih sangat relevan bagi berbagai kebudayaan di Indonesia atas alasan yang beragam. Pada masyarakat Jawa, sirih pinang biasa dilemparkan kepada mempelai pria dan wanita pada prosesi temu temanten. Di Bali, selain digunakan untuk menyambut tamu, warna dari tiga bahan yang digunakan untuk menginang kerap diasosiasikan dengan Dewa Trimurti—Brahma, Wisnu, dan Siwa. Di masyarakat Riring, Maluku, sirih pinang memegang peran penting pada ritual dan upacara lokal, mulai dari prosesi perkawinan, pemahkotaan raja, dan pertemuan kenegaraan. Masyarakat Riring menilai bahwa tradisi mengonsumsi tuak dan sirih pinang merupakan suatu tradisi yang merepresentasikan nilai-nilai kekeluargaan dan solidaritas sosial yang berdasarkan nilai lokal dan Kekristenan. Di Nusa Tenggara Timur, tradisi ini masih sangat relevan bagi seluruh usia. Penggunaan rekreasional maupun medis menjadi alasan dari populernya tradisi ini.

Untuk melakukannya, diperlukan setidaknya lima bahan alami yang umum ditemukan di seluruh wilayah di Indonesia. Kelima bahan tersebut antara lain daun sirih, biji pinang, kapur, gambir, dan tembakau. Kombinasi dari dua, tiga, hingga lima bahan tersebut dicampur dan dikunyah selama beberapa menit hingga beberapa jam. Setelah itu, hasil kunyahan tersebut disusur atau didistribusikan ke seluruh gigi. Tinggalan dari bahan-bahan tersebutlah yang memberikan warna merah kecoklatan pada gigi para pengunyahnya.

Dewasa ini, muncul berbagai perhatian terhadap tradisi ini terkait dengan kesehatan dan kebersihan gigi. Bahkan, berbagai riset dan laporan dari badan-badan resmi, seperti World Health Organization, melaporkan bahwa kebiasaan mengunyah sirih pinang berpotensi mengakibatkan kanker mulut pada manusia. Kendati demikian, pada masyarakat awam, baik yang melakukan tradisi ini maupun tidak, masih terdapat pemahaman bahwa menginang itu baik untuk kesehatan gigi. Berangkat dari kedua realitas yang saling berbenturan ini, peneliti berupaya untuk meninjau kembali penelitian terdahulu untuk melihat dan menjawab kebingungan ini.

Melalui metode literature review, terdapat beberapa temuan yang cukup menarik. Peneliti menemukan hasil penelitian terdahulu yang menyatakan bahwa mengonsumsi sirih pinang memiliki dampak positif maupun negatif bagi aspek sosiokultural maupun biologis manusia. Sisi positifnya, konsumsi sirih pinang mampu mengurangi terbentuknya karies dalam gigi, mengurangi pembengkakan dan demam, serta memperkuat gigi. Hal ini karena daun sirih dan biji pinang mengandung senyawa antibakteri, antidepresan, antifungal, antioksidan, antialergi, antidiabetes, dan antiparasit. Secara sosial, tradisi mengunyah sirih pinang juga terus memegang peran penting bagi keberlangsungan kearifan lokal di berbagai kebudayan di Indonesia.

Meskipun demikian, beberapa literatur juga melaporkan berbagai dampak negatif dari konsumsi sirih pinang terhadap kesehatan gigi dan mulut. Gangguan yang muncul dapat ditemukan tidak hanya di gigi, tetapi juga di tulang rahang, lidah, rongga mulut, dan gusi. Penyakit yang paling umum muncul sebagai akibat dari menginang antara lain kalkulus, periodontitis, atrisi, gigi tanggal, dan staining (pewarnaan). Penelitian Hsiao pada tahun 2015 membuktikan bahwa meskipun menginang mampu mengurangi risiko karies, kalkulus yang ditinggalkan akibat menginang berpotensi mengotori dan menumpuk di gigi, sehingga risiko penyakit gusi dan gigi pun meningkat. Mendukung hasil penelitian sebelumnya, penelitian Ritonga et al. (2019) berakhir pada simpulan bahwa dampak negatif dari menginang dipengaruhi oleh semakin banyak bahan yang digunakan, semakin lama waktu menginang, dan seberapa sering seseorang menginang per hari. Mengetahui variabel tersebut, berbagai skema penanganan dan pengabdian dapat dilakukan untuk mengurangi dampak negatif dari tradisi menginang, tanpa harus menghapuskan kekayaan, praktik, dan signifikansi kulturalnya.

Oleh karena itu, diperlukan upaya sistematis untuk mendorong masyarakat dalam memprioritaskan kesehatan giginya. Tentunya, hal ini memerlukan bantuan dari berbagai pihak dan mitra, mulai dari pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, institusi pendidikan, tokoh publik, hingga awam. Contoh program yang dianggap mampu untuk meningkatkan kesehatan gigi masyarakat adalah sosialisasi menyikat gigi. Hal ini didukung oleh penelitian sebelumnya, yang menyebutkan bahwa sosialisasi di sekolah-sekolah telah berjalan dengan sangat baik. Dengan menyadari pentingnya menyikat gigi dan berkonsultasi dengan dokter gigi, tradisi menginang mampu mempertahankan relevansinya dengan dampak yang minimum.

Peneliti juga menemukan berbagai potensi bagi penelitian selanjutnya, mengingat temuan kontradiktif yang ada di berbagai literatur. Topik-topik seperti pengaruh menginang terhadap kesehatan gigi dan mulut di wilayah lain, dengan variabel-variabel berupa lama menginang, waktu menginang per hari, dan bahan yang digunakan.

Penulis: Sayf M. Alaydrus, Myrtati D. Artaria, Chen Yao-Fong

Artikel asli: https://e-journal.unair.ac.id/MKG/article/view/40990