Universitas Airlangga Official Website

Membuat Model Radang Sendi Tikus dengan Induksi Monosodium Iodoacetate

ilustrasi radang sendi (sumber: bisnis style)

Radang sendi merupakan penyakit umum pada sendi yang meradang. Telah banyak obat yang digunakan untuk mengurangi keradangan pada sendi. Sampai saat ini, obat yang ada belum dapat memberikan luaran terbaik bagi penderita radang sendi. Angka kesakitan dan kecacatan penderita radang sendi masih tinggi. Diperlukan upaya untuk mencari alternatif obat baru yang berpotensi menurunkan keradangan pada sendi tanpa menimbulkan efek samping yang merugikan.

Uji coba obat baru selalu terkendala dengan etik penelitian pada manusia. Kandidat obat tidak dapat langsung diuji coba pada manusia. Komisi etik mempersyaratkan tahapan untuk menguji kandidiat obat baru melalui uji invitro, uji invivo pada model hewan coba, uji invivo pada model hewan coba besar, dan uji klinis pada manusia. Sampai saat ini model hewan coba untuk penelitian uji kandidat obat baru yang dapat menurunkan keradangan sendi menggunakan dua protokol induksi. Setiap protocol memiliki kelebihan dan kekurangan dalam menghasilkan model hewan coba yang mirip dengan keradangan sendi pada manusia.

Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan luaran dari dua protocol dalam menghasilkan model hewan coba untuk uji coba kandidat obat baru untuk mengurangi radang sendi. Protokol pertama adalah induksi menggunakan Complete Freund’s Adjuvant (CFA) dan protocol kedua menggunakan induksi Monosodium Iodoacetate (MIA). Uji coba pemodelan dilakukan pada tikus (Rat). Variabel yang berbeda dinilai, termasuk perubahan berat badan, nilai knee-bend score, dan pengukuran diameter lutut, serta kuantifikasi kadar sitokin interleukin-1β (IL-1β) dan C-telopeptida kolagen tipe II (CTX-II). Induksi CFA atau MIA diberikan pada tikus, dan diamati selama 14 hari.

Data kami menunjukkan bahwa dampak induksi artritis bervariasi secara signifikan pada kedua model. Baik kelompok CFA dan MIA menunjukkan perubahan yang berbeda dalam hal perubahan berat badan, knee-bend score, dan variasi diameter lutut. Selain itu, kadar IL-1β dan CTX-II, keduanya merupakan indikator yang dikenal sebagai inflamasi dan degenerasi tulang rawan, juga diukur. Secara khusus, kadar IL-1β pada kelompok CFA jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tikus yang diinduksi MIA, sedangkan kadar CTX-II menunjukkan pola yang berlawanan. Temuan ini menyoroti perlunya mempertimbangkan dengan cermat pendekatan induksi ketika melakukan investigasi radang sendi pada tikus karena model yang digunakan memiliki dampak besar pada perubahan fisiologis yang dilaporkan. Analisis komparatif penelitian ini memberikan informasi yang berguna bagi para peneliti yang ingin menggunakan model radang sendi lutut tikus.

Peneliti yang tertarik untuk meneliti respons imun sistemik, peradangan, dan konsekuensi terkait sendi dapat memilih model CFA. Sedangkan mereka yang tertarik untuk mempelajari kerusakan tulang rawan lokal dan mekanisme molekuler yang terkait dengan degradasi tulang rawan mungkin lebih memilih model MIA. Temuan ini menyoroti pentingnya mencocokkan tujuan studi dengan kekuatan dan batasan masing-masing pendekatan. Para peneliti dapat menggunakan wawasan ini untuk membuat penilaian yang komprehensif tentang pendekatan induksi terbaik sesuai tujuan studi yang diinginkan. Para peneliti dapat meningkatkan relevansi dan kemampuan penerjemahan data dengan meningkatkan pilihan metode induksi, meningkatkan pemahaman kita tentang patofisiologi radang sendi, dan mengembangkan metode terapi yang layak.

Penulis : Bambang Purwanto
Sumber : A Comparative Study of CFA and MIA Induction Models in Rat Knee Arthritis.
Pharmacognosy Journal,2023,15,6,1197-1201