Universitas Airlangga Official Website

Risiko Bell’s Palsy Pasca Vaksin Covid-19 pada Warga Surabaya

Ilustrasi covid-19 (sumber:BBC)

World Health Organization (WHO) menginformasikan tentang kasus pneumonia unknown etiology sekitar tiga tahun lalu di Wuhan, China. Pada Januari 2020, telah dikonfirmasi bahwa severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 (SARS-CoV-2) diidentifikasi sebagai penyebab yang menjadi ancaman utama di China. Virus yang menyebabkan penyakit coronavirus 2019 (COVID-19) telah muncul sebagai agen yang sangat patogen dan telah menyebar secara global sehingga pada 11 Maret 2020, WHO menyatakan COVID-19 sebagai pandemi dunia. Indonesia melaporkan kasus pertamanya pada tanggal 2 Maret 2020, Presiden Joko Widodo mengumumkan adanya dua kasus pasien positif COVID-19.

Berbagai strategi telah dilakukan oleh pemerintah ketika COVID-19 terus menyebar, salah satunya dengan memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) untuk mewujudkan jarak fisik (Physical Distancing) (Ayunda et al., 2021). Upaya ini belum menemukan titik terang untuk menghentikan penyebaran COVID-19. Dengan itu Indonesia memerlukan solusi untuk dapat mencegah dan memberhentikan penyebaran virus COVID-19 ini, salah satunya ialah dengan vaksin yang dinilai menjadi salah satu upaya yang paling efektif untuk mengatasi pandemi COVID-19 yang masih terus berlangsung (Ayunda et al., 2021). Sejak awal pandemi COVID-19, minat yang besar terhadap vaksin telah muncul untuk mencegah penyakit tersebut.

Dengan kemajuan medis dan teknologi, kemampuan untuk memproduksi vaksin yang dipercepat dan disetujui kini menjadi kenyataan sebagaimana dibuktikan dengan produksi Vaksin COVID-19. Kemajuan dalam biologi komputasi, rekayasa protein, dan sintesis gen bersama dengan platform manufaktur baru telah memungkinkan produksi vaksin dengan cepat dan presisi (Repajic et al., 2021). Berdasarkan data Sekretariat Kabinet Republik Indonesia, per tanggal 6 Januari 2021, sejumlah 3 juta dosis yang sudah tiba di Tanah Air, ditambah 122,5 juta dosis lagi dari Sinovac, kemudian dari Novavax sebanyak 50 juta dosis, COVAX/Gavi sejumlah 54 juta dosis, serta AstraZeneca 50 juta dosis dan dari Pfizer sejumlah 50 juta dosis vaksin.

Total vaksin yang dipesan pada awal tahun Januari mencapai 329,5 juta (Gandrayani dan Hadi, 2021). Secara umum, manfaat vaksinasi jelas lebih besar daripada risikonya, vaksin mencegah antara 2 dan 3 juta kematian akibat penyakit menular setiap tahun (Cirillo, 2021). Meskipun sering menyebabkan adverse events (AEs) yang tidak serius, seperti kelelahan, sakit kepala, menggigil, demam, dan nyeri, AEs yang serius, seperti anafilaksis, jarang dilaporkan (Kenichiro et al, 2021).

Reaksi langka terhadap vaksin dapat diamati pada periode pasca persetujuan, karena jumlah orang yang terpapar lebih besar, dibandingkan dengan uji klinis (Torrealba-Acosta et al., 2021). Sehingga reaksi merugikan harus diidentifikasi dan ditangani sesegera mungkin untuk meminimalkan potensi cedera (Khazeei Tabari et al., 2022). Salah satu manifestasi neurologis dari vaksin COVID-19 adalah Bell’s palsy (Burrows et al., 2021). Bell’s palsy adalah komplikasi langka yang dilaporkan setelah vaksinasi COVID-19. (Shahsavarinia et al., 2022)  

Dalam uji coba fase ketiga vaksin Moderna mRNA COVID-19, terdapat empat kasus Bell’s palsy yang dilaporkan: tiga di kelompok vaksin dan satu di kelompok plasebo yang melibatkan lebih dari 30.420 peserta secara acak dengan basis 1:1 (Baden et al., 2021). Ada enam kasus kelumpuhan saraf wajah yang dilaporkan dalam analisis keamanan yang ditetapkan untuk uji coba vaksin COVID-19 Oxford/AstraZeneca: tiga di kelompok vaksin dari 12.021 peserta dan tiga di kelompok plasebo dari 11.724 peserta.(Burrows et al., 2021). Bell’s palsy menyumbang 60-75% kasus, 7–40 kasus muncul per 100.000 orang per tahun yang dialami pada pria dan wanita (Heckmann et al., 2019). 

Komplikasi peripheral nervous system akibat vaksin COVID-19 telah dilaporkan selama uji klinis acak, dalam laporan kasus sebenarnya, dan selama program pengawasan skala besar yang meliputi kasus Guillain‐Barré syndrome (GBS), Bell’s palsy, dan kasus neuralgic amyotrophy. Beberapa neuropati kranial, khususnya facial palsy, dilaporkan 6 hari setelah dosis pertama vaksin Pfizer BioTech COVID-19. Saraf wajah telah menarik banyak perhatian mengingat seringnya gejala gustatory di antara pasien COVID-19. Sebuah studi retrospektif yang dilakukan selama gelombang pertama COVID-19 di satu kota di Italia Utara melaporkan peningkatan insiden Bell’s palsy dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2019 (7,1 vs 4,1 kasus per 100.000 penduduk, RR 1,73) (Taga & Lauria, 2022)

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di wilayah Surabaya didapatkan hasil bahwa jenis vaksin COVID-19 yang dilakukan pada warga Surabaya memiliki risiko terjadinya Bell’s palsy meskipun tidak semua gejala terjadi. Antara lain vaksin AstraZeneca menyebabkan gejala tinnitus, hyperacusis, dan xerostomia; vaksin Pfizer menyebabkan gejala mata kering, tinnitus, dan xerostomia, dan yang terakhir vaksin Moderna dan Sinovac menyebabkan gejala xerostomia

PENULIS: Pratiwi Soesilawati 1, Melza Nur Ramadhania 2, Annisa Anggie Tjahyaning Negri 2 and Yuliati 1 

1 Department of Biology Oral, Faculty of Dental Medicine, Universitas Airlangga, 60132 Surabaya, Indonesia. 

2 Faculty of Dental Medicine, Universitas Airlangga, 60132 Surabaya, Indonesia.

Risk of Bell’s Palsy after COVID-19 vaccination (wjarr.com)