Universitas Airlangga Official Website

Tantangan Sensor, Bebaskan Kreativitas di Era Streaming

ilustrasi sensor (sumber: tempo)

Kita sudah memasuki era digital. Segalanya diusahakan untuk bisa didigitalisasi dan hal ini berlangsung sangat cepat. Hasil dari transformasi era menjadi digital yang dapat seluruh kalangan nikmati seperti media streaming dan platform Over-the-Top (OTT). Layanan ini mampu mengubah cara kita mengkonsumsi hiburan, terutama film. OTT menjadi populer di masyarakat sebab layanan streaming ini menawarkan kemudahan akses dan berbagai macam pilihan. Menurut data dari Databoks, layanan streaming film dan televisi menjadi konten digital yang sering pengguna internet di dunia beli dengan persentase sebesar 31,7%. Seiring dengan berkembangnya industri film. Para pelaku film secara bebas mengekspresikan kreativitas dan menggarap film berdasarkan imajinasi mereka tanpa batas untuk ditayangkan ke khalayak umum melalui media streaming dan OTT. Namun, hal tersebut justru memunculkan kebutuhan untuk membuat aturan yang saat ini tertera dalam Undang-Undang Penyiaran. Tantangan sensor yang berlebihan menjadi masalah utama yang kerap kali penggiat dan pelaku dalam industri film alami dan dapat membatasi kreativitas.

Memang benar, perlu ada regulasi karena Indonesia memiliki banyak budaya dan moral luhur yang harus terus warganya hormati dan jaga. Akan tetapi dari perspektif yang lain, regulasi juga dapat menjadi ancaman kebebasan berekspresi. Selain itu, aturan juga bisa menghambat kemajuan industri dalam karya-karya dari para pelaku industri jika aturannya terlalu ketat. Erwantoro (2011) dalam jurnalnya mengemukakan kutipan artikel yang menyebutkan bahwa ketika kebebasan imajinasi seseorang terbatasi dan terkontaminasi oleh pemerintah melalui sensor film, itu menunjukkan bahwa pemerintah ambil andil dalam mempengaruhi imajinasi masyarakat. Dengan kata lain, sensor film dan konten pada layanan streaming secara berlebihan dapat menjadi penghambat. Terutama pada kemajuan seni dan mengekspresikan diri secara kreatif. 

Industri film seringkali menjadi sasaran empuk bagi Lembaga Sensor Film yang rentan terhadap efek sensor berlebihan.  Redi Panjunu (dalam Asri, 2020) mendefinisikan film sebagai wadah bagi para penonton bukan hanya sekedar untuk menghibur tetapi juga belajar. Melalui dialog, gambar dan lakon, film mampu menjadi penyalur pesan, misi, gagasan, hingga kritik terhadap kehidupan manusia. Adanya pembatasan kreativitas dapat menjadi penghalang para penggiat film dalam menyuarakan pendapat mereka. 

Seringkali, film-film garapan dengan genre yang mengangkat isu seksualitas, kekerasan, perpecahan, agama sangat sensitif sehingga menjadi sasaran sensor ketat. Contoh film indonesia yang dahulu tidak lulus sensor yaitu “Kucumbu Tubuh Indahku”.  Film ini menjadi kontroversi dan banyak orang anggap tidak layak karena film tersebut menampilkan perilaku penyimpangan seksual. Terutama yang berkaitan dengan unsur LGBT dan bertentangan dengan nilai-nilai agama. Melansir data CNNIndonesia.com dari situs resmi Lembaga Sensor Film (LSF). Film ini telah lulus sensor hingga dua kali pada 13 Desember 2018 dengan kategori usia 17+ dan 23 Januari 2019 dengan kategori usia 21+. Film Garapan Nugroho ini dsudah tayang di beberapa negara Asia, Eropa dengan judul “Memories of My Body” dalam bahasa inggris.

Di lihat dari sinopsis, film ini sebenarnya menceritakan kisah perjalanan hidup seorang laki-laki berprofesi sebagai penari tarian perempuan. Laki-laki bertubuh maskulin dengan sifat feminim yang terbentuk akibat trauma kekerasan tubuh yang ia alami.  Pembelajaran yang sebenarnya bisa masyarakat ambil dari film ini berkaitan dengan konstruksi budaya dengan faktor utama yaitu lingkungan sekitar (Prasetyo et al, 2020). Meskipun demikian, film yang dianggap kontroversial pada prinsipnya memiliki banyak pesan yang bisa dipelajari oleh penonton. Akibat adanya sensor yang terlalu ketat, menghambat penyampaian pesan sehingga mengurangi kekuatan karya seni tersebut. 

Saat ini, banyak para sineas muda memiliki ide dan imajinasi tak terbatas yang berusaha mereka tuangkan dalam karya-karya dengan gaya serta teknik antimainstream. Adanya pembatasan yang kreativitas yang berlebihan dapat menghambat mereka mengembangkan industri ini. Namun, perlu adanya keseimbangan antara perlawanan dan kebebasan. Dengan adanya keseimbangan industri film dapat berkembang secara sehat dan bertanggung jawab melalui regulasi dan peraturan perundang-undangan yang ada. Perlindungan terhadap kepentingan norma dan aturan dalam masyarakat, pencegahan penyebaran konten yang mengandung unsur berbahaya dan melanggar hukum juga menjadi alasan mengapa perlu ada regulasi dan UU. Namun, hrus kita akui bahwa regulasi tidak selamanya bisa sejalan dengan kebebasan berekspresi. 

Melalui aturan UU yang berlaku terutama bagi industri film pada aspek layanan streaming dan OTT dan berlakukannya kategori usia dan kategori konten secara spesifik sebagai solusi mencapai keseimbangan. Harapannya, dengan berlakukannya hal tersebut. Penonton dengan leluasa dapat memilih sendiri tontonan sesuai kategori. Meskipun film tersebut sekiranya mengandung unsur-unsur kontroversial namun tidak mendapat larang dan sensor secara berlebihan. Pemerintah dan lembaga sensor juga dapat bekerja sama dalam penyusunan aturan dan paduan sensor yang lebih rinci. Adanya keterlibatan seluruh pihak berkepentingan mampu membawa industri film semakin berkembang dengan adanya aturan yang tidak terlalu membatasi para pelaku dan penggiat film untuk berkreasi dalam karya-karyanya. 

Semakin mudahnya akses yang ditawarkan di era digital, membuat semua orang dapat mencari dan melihat konten dimana saja dan kapan saja. Aturan sensor Indonesia yang terlalu ketat dapat mengakibatkan masyarakat memilih layanan streaming asing. Sebab layanan streaming asing mungkin lebih bebas dari sensor yang secara ekonomi juga dapat merugikan negara. Oleh karena itu, penting untuk regulasi dan UU yang ada untuk menyesuaikan dengan situasi dan perkembangan industri dan memastikan layanan streaming dan OTT milik bangsa menjadi pilihan banyak masyarakat. Kesimpulannya, perlu adanya keseimbangan antara melawan tantangan demi kebebasan berkreasi di industri film pada aspek layanan streaming dan OTT yang UU atur dan regulasi serta perlu adanya kerjasama dari berbagai pihak untuk turut mengembangkan seni sinematografi. 

Penulis: Wingga Walenta

Baca Juga: Industri Film Nasional Menghadapi Perkembangan Layanan OTT