“Semakin tua seseorang, semakin rajin ritual keagamaan yang dilakukannya.” Kalimat tersebut sudah sangat familiar dan memiliki konotasi semakin dekat seseorang dengan kematian, semakin dekat pula ia dengan Tuhan. Sebaliknya terjadi pada generasi muda, semakin muda usianya semakin jauh dengan Tuhan.
Kaitan generasi muda saat ini, yaitu Generasi Z, jauh dari Tuhan dan tidak melakukan ritual keagamaan dengan semestinya karena perkembangan zaman. Perkembangan zaman yang semakin mengglobal dan banyaknya budaya kebarat-baratan yang tak sesuai dengan nilai-nilai keagamaan. Jika es menjadi kambing hitam ketika anak batuk. Bermain handphone dan berselancar di dunia maya menjadi kambing hitam ketika Generasi Z dilabeli generasi yang jauh dari Tuhan.
Kedekatan Generasi Z, yang sering dikenal Gen Z, dengan dunia maya atau ruang siber membuat Gen Z seakan memiliki dunianya sendiri. Banyak kegiatan yang dilaksanakan di dunia maya, bahkan termasuk dalam melaksanakan praktik keagamaan. Fenomena cyber religion atau agama digital menjadi salah satu contoh bagaimana teknologi informasi dan komunikasi mengubah cara masyarakat Indonesia menjalankan keimanannya.
Agama digital merupakan praktik keagamaan yang dilakukan melalui media digital seperti internet, media sosial, dan aplikasi mobile. Di Indonesia yang merupakan negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, serta memiliki masyarakat yang beragam secara agama, fenomena ini semakin relevan untuk dibahas.
Menarik sedikit ke belakang mengenai 2 konsep yang diperkenalkan Anastasia Karaflogka (2002), yakni Religion on cyberspace dan Religion in cyberspace. Religion on cyberspace merupakan informasi yang tersebar di internet mengenai suatu agama yang diberikan oleh organisasi keagamaan. Misalnya seperti ustad, pendeta, ataupun masyarakat sipil penganut agama tertentu. Di mana ajaran dan ilmu agama tersebut bisa ditemui di dunia nyata, baik melalui institusi agama, instituasi pendidikan, ataupun di kehidupan bermasyarakat. Contohnya saja Habib Ja’far yang berdakwah melalui media sosialnya dan di sisi lain Habib Ja’far juga memberikan tausiah secara langsung.
Konsep kedua yang dikenalkan oleh Anastasia Karaflogka ialah Religion in cyberspace di mana terdapat agama yang memang diciptakan dan wujudnya tidak dapat ditemukan di dunia nyata. Contohnya saja bisa dilihat dari dewa dari agama digital yang bernama Gereja Subgenius. Dewa dari Gereja Subgenius bukan entitas metafisik, seperti Allah, Yesus, dan Tuhan agama lain, melainkan seorang warga kelas menengah Amerika bernama Bob.
Demikian pula, santo dari agama digital yang bernama Gereja Virus sejak tahun 1996 yang santonya itu adalah pendiri teori evolusi yakni Charles Darwin. Jadi, melalui gambaran secara garis besar dari kedua konsep dapat dipahami bahwa fenomena yang akan diulas dalam tulisan ini ialah Religion on cyberspace.
Praktik keagamaan perlahan bertranformasi dan masuk ke dunia maya. Melihat bagaimana internet telah mengubah cara orang mengakses informasi dan berinteraksi. Dalam konteks keagamaan, internet menyediakan platform bagi umat untuk mendapatkan akses yang lebih mudah dan cepat terhadap ajaran agama, ritual, dan komunitas keagamaan.
Berbagai situs web, blog, dan media sosial memungkinkan para pemuka agama untuk menyebarkan ajaran dan menjawab pertanyaan dari umatnya. Salah satu contoh yang menonjol adalah adanya berbagai aplikasi kitab agama dan doa digital yang memudahkan umat beragama untuk beribadah di mana saja. Lalu, bermunculan akun-akun dakwah dan pemuka agama yang menjadi influencer agama di media sosial.
Menurut data dari We Are Social dan Hootsuite, pada Januari 2023, terdapat 212,9 juta pengguna internet di Indonesia, dengan tingkat penetrasi mencapai 77% dari total populasi. Angka ini menunjukkan bahwa mayoritas penduduk Indonesia memiliki akses ke internet, yang berarti potensi untuk mengakses konten keagamaan digital sangat besar.
Media sosial memainkan peran penting dalam penyebaran agama digital. Platform seperti Facebook, Instagram, YouTube, dan Twitter digunakan oleh tokoh agama untuk menyebarkan dakwah dan berinteraksi dengan umat. Sebuah survei dari Lembaga Survei Indonesia pada tahun 2022 menunjukkan bahwa sekitar 64% responden yang aktif menggunakan internet mengaku pernah mengakses konten keagamaan melalui media sosial. Konten-konten ini beragam, mulai dari ceramah, kajian, hingga video pendek yang menginspirasi.
Terdapat penelitian yang dilakukan oleh PPIM UIN Jakarta pada tahun 2021. Penelitian ini pertama kali diluncurkan ke publik melalui webinar yang berjudul “Beragama ala Anak Muda”. Terdapat 64,66% responden menjawab bahwa media sosial sebagai salah satu sumber pengetahuan agama mereka. Lalu, Generasi Z lebih sering mengakses informasi ataupun program yang bertema keagamaan melalui media baru seperti media sosial ataupun podcast. Generasi Z pula yang paling tinggi secara kuantitas dalam melakukan interaksi dengan konten-konten keagamaan.
Interaksi tersebut berupa like/dislike, membagikan konten tersebut, menulis komentar, dan mengonsumsi program keagamaan melalui media sosial mereka. Dalam penelitian ini pun menyebutkan bahwa semakin tinggi derajat religiusitas seseorang akan berbanding lurus dengan semakin intensnya seseorang melakukan interaksi-interaksi tersebut di media sosial. Khususnya bagi seseorang yang memang menjadikan media sosial sebagai sumber dalam mendapatkan informasi keagamaan.
Manfaat dari agama digital sebenarnya cukup signifikan. Pertama, aksesibilitas informasi agama menjadi lebih luas dan inklusif. Umat yang tinggal di daerah terpencil atau memiliki keterbatasan fisik kini dapat mengikuti ceramah dan kajian agama secara online. Kedua, agama digital memungkinkan adanya interaksi langsung antara pemuka agama dan umat, yang sering kali sulit dilakukan dalam setting offline.
Namun, agama digital juga memiliki tantangan tersendiri. Salah satunya adalah risiko penyebaran informasi yang tidak akurat atau hoaks. Karena sifat internet yang bebas dan terbuka, siapa saja bisa mempublikasikan konten keagamaan tanpa melalui proses verifikasi yang memadai. Hal ini dapat menimbulkan kebingungan dan kesalahpahaman di kalangan umat.
Peran pemerintah, instansi keagamaan, maupun masyarakat sipil juga dibutuhkan untuk memerhatikan konten-konten yang beredar di media sosial. Jangan sampai konten-konten konservatif tersebar luas dan dikonsumsi secara mentah-mentah oleh Generasi Z. Lalu, kesalahpahaman akan informasi tersebut menjadi Generasi Z mangsa empuk para oknum yang tidak bertanggung jawab atau bahkan terlibat dalam jaringan terorisme. Lalu, keterlibatan influencer dalam menekan konten-konten konservatif dan mengunggah informasi keagamaan yang lebih moderat sangat dibutuhkan.
Salah satu contoh inisiatif yang berhasil adalah “MUI Online” yang dikelola oleh Majelis Ulama Indonesia. Melalui platform ini, MUI menyediakan berbagai informasi keagamaan, fatwa, dan konsultasi secara online. Selain itu, banyak masjid dan organisasi keagamaan yang kini rutin mengadakan kajian online melalui Zoom atau YouTube Live, sehingga umat dapat berpartisipasi tanpa harus hadir secara fisik.
Fenomena agama digital di Indonesia menunjukkan bagaimana teknologi internet mengubah cara umat menjalankan keimanan mereka. Dengan akses yang luas terhadap internet dan media sosial, praktik keagamaan menjadi lebih inklusif dan interaktif. Meskipun menghadapi tantangan seperti penyebaran informasi yang tidak akurat hingga terbukanya peluang bagi para jaringan terorisme, manfaat dari agama digital tidak dapat diabaikan.
Umat dapat mereklamasi keimanan mereka melalui dunia maya dengan cara yang lebih fleksibel dan adaptif terhadap perkembangan teknologi. Agama digital bukan hanya sekadar tren, tetapi juga refleksi dari evolusi praktik keagamaan di era modern. Jadi, media sosial dapat menjadi echo-camber untuk menguatkan pemahaman keagamaan yang telah tertanam pada seseorang, khususnya Generasi Z.
Penulis: Zora Calista (Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Airlangga)