Plastik banyak digunakan dalam produk komersial dan merupakan polutan yang signifikan di lingkungan laut. Pada tahun 2010 terdapat 192 negara pesisir menghasilkan 275 juta metrik ton (MT) sampah plastik di antaranya 4,8 hingga 12,7 juta metrik ton (MT) masuk ke laut. Biasanya, jenis sampah yang ditemukan di pesisir terbuat dari bahan Polyethylene (PE), seperti kantong plastik, dan bahan polypropylene (PP) misalnya produk kemasan, tekstil, dan alat tulis.
Sistem pengelolaan sampah menghadapi banyak tantangan di berbagai sektor, termasuk Kabupaten Banyuwangi, Indonesia. Sebagai kabupaten terbesar di Jawa Timur (5.782,50 km2) dengan laju pertumbuhan penduduk sekitar 0,44% (BPS 2021), daerah ini berpotensi menghasilkan jumlah limbah dengan kualitas yang berbeda-beda. Terlepas dari potensi wisata pantai dan laut, Kabupaten Banyuwangi mengalami pembuangan sampah plastik ke laut yang tidak ramah lingkungan. Menurut perkiraan, antara 4,8 dan 12,7 juta ton sampah plastik berakhir di perairan Indonesia.
Penelitian yang dilakukan oleh Johan et al. pada tahun 2021 tentang mikroplastik pada saluran pencernaan 5 spesies ikan segar di Teluk Segara, Bengkulu. Sedangkan Gunawan dkk. Pada tahun 2021 mempelajari daging 5 jenis ikan segar dan pindang di Bogor utara, sedangkan Sawalman et al. melakukan penelitian terhadap insang, saluran pencernaan, dan daging 3 jenis ikan di Barranglompo, dan Yona et al. pada tahun 2020 berfokus pada insang dan saluran pencernaan 12 ikan terumbu karang di perairan pulau kecil dan terluar Papua. Namun, masih keterbatasan pengetahuan tentang keberadaan mikroplastik pada ikan segar dan pindang, dengan jumlah sampel yang lebih banyak dan beragam yang dibutuhkan, terutama di sepanjang pesisir Banyuwangi. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kontaminasi mikroplastik pada ikan segar dan pindang serta dampaknya terhadap kesehatan di pantai Muncar, Kabupaten Banyuwangi, Indonesia.
Dalam penelitian ini, sebanyak 115 responden berpartisipasi, memberikan data kuesioner tentang kebiasaan konsumsi ikan dan masalah kesehatan mereka. Mayoritas responden memiliki tingkat pendidikan yang rendah, dengan 33% tidak menyelesaikan kelulusan sekolah dasar dan 31,3% tidak pernah bersekolah. Tabel 1 juga menunjukkan bahwa responden memiliki pendapatan rendah, dengan sekitar 64,3% berpenghasilan antara 1-1,5 juta rupiah per bulan.
Penelitian ini juga mencakup 100 sampel ikan laut, terdiri dari 89 ikan segar dan 11 ikan pindang dari berbagai jenis spesies laut, 5 bagian diambil sebagai sampel, terdiri dari daging (30 sampel), insang (26 sampel), kulit (26 sampel), usus (18 sampel), dan lambung (1 sampel). Seratus sampel ikan yang dianalisis mikroplastik diperoleh hasil ada 94 sampel mengandung mikroplastik, sementara hanya 6 sampel ikan yang tidak mengandung mikroplastik.
Selanjutnya, koefisien korelasi spearman, tes statistik non-parametrik, digunakan untuk menganalisis data kuesioner. Kandungan polimer mikroplastik yang terdeteksi melalui FTIR (Fourier- Transform Infrared Spectroscopy) sekitar 3-5 sampel polimer/ikan mikroplastik, dan yang paling dominan adalah Polyethylene, Polyester, Polycaprolactam (Nylon 6) dan Polyamide. Penelitian ini menunjukkan bahwa 94 persen sampel ikan mengandung mikroplastik dan hanya 6 persen sampel yang tidak mengandung mikroplastik. Intensitas konsumsi ikan pindang berkorelasi positif dengan gejala dan masalah kesehatan responden. Selanjutnya, penerapan sistem pengelolaan limbah yang efektif dan program edukasi di wilayah pesisir sangat penting dalam mengurangi pencemaran air laut akibat praktik pembuangan limbah yang tidak memadai.
Penulis: Lilis Sulistyorini
Link: https://doi.org/10.46488/NEPT.2024.v23i03.038
Baca juga: Kinetika Adsorpsi Karbon Aktif Batang Pisang dalam Menurunkan Kadar Fosfat