Indonesia saat ini menghadapi tantangan besar dalam upaya pengendalian konsumsi tembakau, terutama di kalangan remaja. Menurut laporan Southeast Asia Tobacco Control Alliance (SEATCA), Indonesia menempati peringkat tertinggi di antara negara ASEAN dalam jumlah perokok remaja berusia 13–15 tahun. Data Global Youth Tobacco Survey (GYTS) tahun 2019 menunjukkan bahwa 19,2% siswa di Indonesia merupakan perokok aktif, dengan kecenderungan peningkatan pada kelompok usia 15–19 tahun. Tingginya prevalensi merokok ini menjadi masalah kesehatan masyarakat yang memerlukan perhatian serius, terutama mengingat dampak jangka panjang dari paparan zat berbahaya dalam rokok terhadap kesehatan individu dan beban sistem kesehatan nasional. Dalam konteks ini, sebuah studi yang dilakukan oleh Muthmainnah dkk. (2025) dari Universitas Airlangga menjadi sangat relevan. Penelitian tersebut menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi perilaku pencegahan merokok pada siswa SMA di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Dengan menggunakan pendekatan Health Belief Model (HBM), penelitian ini berusaha mengidentifikasi determinan utama yang dapat mendorong atau menghambat upaya siswa dalam menghindari kebiasaan merokok.
Remaja merupakan kelompok usia yang rentan terhadap pengaruh lingkungan dan pengambilan keputusan yang berisiko tinggi, termasuk dalam hal mencoba rokok. Di Kabupaten Sidoarjo, data dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan bahwa sebanyak 20,46% penduduk usia ≥10 tahun adalah perokok aktif. Fenomena ini diperparah dengan adanya pengaruh teman sebaya, perokok dalam keluarga, serta akses mudah terhadap produk tembakau. Mengatasi masalah ini tidak hanya membutuhkan regulasi yang ketat dari pemerintah, seperti larangan iklan dan kenaikan harga rokok, tetapi juga pendekatan berbasis pendidikan dan psikologi perilaku. Salah satu pendekatan yang efektif adalah melalui pemahaman faktor-faktor psikologis dan sosial yang mendorong remaja untuk memilih tidak merokok.
Penelitian yang dilakukan oleh Muthmainnah dkk. menggunakan desain studi potong lintang (cross-sectional) dengan melibatkan 90 siswa kelas 10 dan 11 dari SMA Negeri 1 Taman, Kabupaten Sidoarjo. Sampel dipilih melalui metode convenience sampling dengan menggunakan kuesioner yang disebarkan secara daring melalui ketua kelas. Instrumen penelitian dikembangkan berdasarkan kerangka Health Belief Model (HBM) yang mencakup tujuh domain utama: persepsi kerentanan, persepsi keparahan, manfaat yang dirasakan, hambatan yang dirasakan, efikasi diri, pemicu tindakan (cues to action), dan perilaku pencegahan. Data kemudian dianalisis menggunakan uji chi-square untuk mengetahui hubungan antar variabel.
Hasil analisis menunjukkan bahwa lima dari enam faktor psikologis yang diteliti memiliki hubungan signifikan dengan perilaku pencegahan merokok pada siswa, yaitu:
- Persepsi Kerentanan (Perceived Susceptibility):
Siswa yang merasa dirinya rentan terhadap dampak kesehatan dari merokok cenderung memiliki perilaku pencegahan yang lebih baik (p=0.000). - Persepsi Keparahan (Perceived Severity):
Siswa yang menyadari betapa seriusnya dampak dari merokok, seperti risiko kanker paru-paru dan penyakit jantung, menunjukkan kecenderungan yang lebih tinggi untuk menghindari rokok (p=0.002). - Manfaat yang Dirasakan (Perceived Benefits):
Kesadaran bahwa menghindari rokok membawa manfaat kesehatan berkontribusi positif terhadap tindakan pencegahan (p=0.018). - Efikasi Diri (Self-Efficacy):
Siswa yang memiliki keyakinan pada kemampuan dirinya untuk menolak godaan merokok terbukti lebih konsisten dalam menghindari perilaku merokok (p=0.001). - Pemicu Tindakan (Cues to Action):
Paparan terhadap pesan anti-rokok di media atau pengaruh dari teman dan keluarga yang tidak merokok juga terbukti meningkatkan perilaku pencegahan (p=0.003).
Namun, variabel hambatan yang dirasakan (perceived barriers) tidak menunjukkan hubungan yang signifikan dengan perilaku pencegahan (p=0.386). Hal ini menunjukkan bahwa meskipun siswa menghadapi tantangan atau godaan dalam menghindari rokok, hal itu tidak secara langsung memengaruhi keputusan mereka untuk tidak merokok.
Hasil penelitian ini menegaskan pentingnya pendekatan psikologis dalam upaya pencegahan merokok di kalangan remaja. Faktor-faktor seperti persepsi terhadap risiko, manfaat, dan kepercayaan diri memiliki peran besar dalam memengaruhi keputusan siswa untuk tidak terlibat dalam kebiasaan merokok. Persepsi kerentanan dan keparahan, misalnya, dapat ditingkatkan melalui kampanye edukatif yang menggambarkan dampak nyata dari merokok. Penggunaan gambar seram pada bungkus rokok, pemutaran video edukatif di sekolah, dan kunjungan ke rumah sakit yang menangani pasien dengan penyakit akibat rokok dapat menjadi contoh konkret yang efektif.
Efikasi diri juga menjadi aspek krusial yang harus ditingkatkan melalui program berbasis sekolah, seperti pembentukan kader anti-rokok, pelatihan asertivitas (kemampuan mengatakan “tidak”), dan pemberian penghargaan bagi siswa yang aktif dalam promosi gaya hidup sehat. Sementara itu, pemicu tindakan dapat diperkuat melalui keterlibatan media sosial, influencer muda, dan penyediaan ruang diskusi bagi siswa untuk saling berbagi pengalaman dan strategi menolak rokok. Adapun temuan bahwa hambatan tidak berpengaruh signifikan membuka ruang diskusi lebih lanjut. Bisa jadi siswa sudah terbiasa dengan keberadaan rokok di lingkungan mereka dan menganggapnya bukan lagi sebagai hambatan yang menghalangi mereka untuk hidup sehat. Hal ini menandakan bahwa norma sosial dan budaya terkait merokok masih sangat kuat dan memerlukan intervensi berbasis komunitas yang lebih menyeluruh.
Temuan ini memiliki implikasi penting bagi dunia pendidikan dan pembuat kebijakan. Sekolah harus lebih proaktif dalam menciptakan lingkungan yang mendukung gaya hidup sehat dengan kebijakan bebas rokok yang ketat, program pendidikan kesehatan rutin, serta pembinaan karakter siswa. Di sisi lain, pemerintah daerah dan pusat perlu memperkuat regulasi terkait distribusi dan iklan rokok. Kenaikan harga rokok, pembatasan akses bagi remaja, serta pelarangan total iklan produk tembakau merupakan langkah strategis yang terbukti efektif di berbagai negara. Kolaborasi antara sekolah, dinas kesehatan, LSM, serta media massa juga sangat diperlukan untuk menciptakan ekosistem yang mendukung pencegahan merokok sejak dini. Langkah-langkah edukatif dan preventif yang berfokus pada peningkatan kesadaran risiko, pemberdayaan diri, dan penyediaan stimulus positif akan menjadi kunci dalam menurunkan angka perokok remaja di Indonesia. Sekolah, sebagai institusi pendidikan dan pembentukan karakter, harus menjadi garda terdepan dalam perjuangan ini.
Penulis: Dr. Muthmainnah, S.KM., M.Kes.
Sumber : Muthmainnah, M., Kurnia, G.M., & Nugrahani, A. (2025). Determinants of smoking prevention behavior of senior high school students: A short report. Tobacco Induced Diseases, 23(March):37. https://doi.org/10.18332/tid/200748
Baca juga: Mengungkap Klaster Risiko Tinggi Tuberkulosis Ekstraparu di Kota Jambi Melalui Analisis Geospasial