Premisnya sederhana. Terdapat akun Instagram yang kontennya mengunggah ulang foto-foto mahasiswi di suatu universitas yang dapat dikategorikan sebagai “cantik”. Unggahan tersebut juga disertai dengan identitas pemilik foto, dan bahkan audiens dapat merekomendasi temannya yang “cantik” untuk diunggah di akun tersebut.
Keberadaan “akun kampus cantik” ini rupanya amat digemari di dunia pendidikan tinggi di Indonesia apabila dilihat dari jumlah pengikut akun-akun ini. Ambil contoh adalah @uicantikid memiliki sekitar 312 ribu pengikut, @unaircantik1954 memiliki sekitar 47,3 ribu pengikut, dan @unpad.geulis mengantongi sekitar 142 ribu pengikut. Tentu saja, mayoritas dari pengikut akun kampus cantik adalah laki-laki.
Akun-akun ini bertujuan untuk menunjukkan bahwa perguruan tinggi merupakan tempat yang memiliki banyak perempuan-perempuan “cantik”. Tulisan ini berupaya untuk menekankan argumen bahwa keberadaan akun kampus cantik adalah fenomena yang sangat problematik. Problematika tersebut bermuara dari bagaimana akun-akun tersebut melanggengkan kekerasan kultural di kampus. Dalam gambaran besar, akun kampus cantik sangat bertentangan dengan elan penciptaan ruang aman yang bebas dari kekerasan seksual di kampus.
Kekerasan Kultural
Guna membedah makna kekerasan kultural, perlu disinggung teori sosiolog Johan Galtung (1990) mengenai segitiga kekerasan (triangle of violence). Teori tersebut memetakan jenis-jenis kekerasan yang bisa terjadi pada suatu masyarakat. Galtung berdalih bahwa kekerasan tak hanya terbatas pada kekerasan langsung (direct violence) belaka, seperti pembunuhan atau pemerkosaan. Melainkan, kekerasan tersebut acapkali bisa terjadi karena adanya kekerasan struktural (structural violence) dan kekerasan kultural (cultural violence) yang berkelindan di masyarakat.
Kekerasan struktural merupakan bentuk kekerasan yang disebabkan karena sistem/struktur sosial yang diskriminatif, tetapi justru dilanggengkan oleh struktur kekuasaan negara. Contoh manifestasinya adalah melalui sistem hukum (Galtung, 1969). Sementara untuk kekerasan kultural, ia menjadikan berbagai aspek kultural seperti agama, ideologi, dan instrumen yang lain sebagai suatu alat untuk melegitimasi kekerasan langsung dan kekerasan struktural.
Kekerasan kultural bekerja dengan cara mengubah ‘’warna moral’’ dari tindakan yang sejatinya “salah/merah” menjadi “benar/hijau” atau setidaknya menjadi “dapat diterima/kuning” (Galtung, 1990). Perubahan warna moral inilah yang membuat masyarakat kerap tidak sadar atau bahkan melakukan praktik justifikasi dan normalisasi terhadap hal-hal yang sebenarnya merupakan bentuk kekerasan. Meskipun tidak tampak secara langsung, tetapi pada faktanya, pemahaman akan kekerasan kultural merupakan hal yang penting dalam proses untuk mencegah dan mereduksi terjadinya kekerasan (Galtung, 2004).
Akun Kampus Cantik sebagai Kekerasan Kultural
Kesan patriarki dalam premis akun kampus cantik amatlah kental. Mahasiswi dalam akun-akun tersebut tercerabut dari peran sosial, politik, hingga seksualnya. Mereka disitu dipajang layaknya katalog untuk kenikmatan laki-laki (Triastuti & Sarwono, 2022), menjadikan mahasiswi sebagai korban objektifikasi.
Penentuan mana mahasiswi yang dapat dikatakan “cantik” juga mengacu pada standar kecantikan yang toksik, dan tentunya bias laki-laki. Tak jarang perempuan yang dianggap “cantik” dalam akun tersebut memiliki fitur kecantikan yang sama – berkulit cerah, rambut panjang, hidung mancung, serta langsing (Fatimah, 2022). Lensa bias laki-laki tersebut relevan bila dikontekskan dengan teori media bernama male gaze, dimana presentasi media disesuaikan dengan preferensi dan hasrat laki-laki (Mulvey, 1975). Sederhananya, akun kampus cantik melanggengkan budaya patriarki di kampus.
Objektifikasi tersebut sangatlah merasuk pada masyarakat, perempuan sendiri terkadang menginternalisasi nilai-nilai patriarkis tersebut. Perempuan pada akhirnya mengobjektifikasi dirinya sendiri (self-objectification), menyesuaikan pada standar-standar yang merugikan dirinya (Fredrickson & Roberts, 1997). Adanya mahasiswi yang merasa tervalidasi dapat masuk pada akun kampus cantik sejatinya merupakan bentuk self-objectification.
Objektifikasi perempuan yang hadir dalam akun kampus cantik ini tentu berdampak pada posisi mahasiswi dalam dunia pendidikan tinggi. Hakikat mahasiswi sebagai sivitas akademika menjadi terdegradasi, merentankan mereka menjadi korban kekerasan seksual. Mampir saja ke comment section akun-akun tersebut, hampir pasti akan ditemukan komentar-komentar seksis. Contoh yang penulis angkat adalah “neng bercocok tanam bareng abang yok” dan “harus jadi direktur dulu kalau mau tiap bangun tidurmu disamping kek gini”. Terkadang pula, komentarnya memprotes bahwa foto mahasiswi yang diunggah itu “tidak cantik” atau “biasa saja”, menyiratkan betapa toksiknya standar kecantikan yang dibebankan pada perempuan.
Bentuk kekerasan seksual yang bermuara dari akun kampus cantik tidak berhenti pada komentar seksis belaka. Tak jarang ditemui bahwa perempuan yang fotonya diunggah di akun tersebut menjadi korban Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) hingga pelecehan seksual di dunia nyata (Itschi, 2022). Satu contoh dari ini adalah bagaimana perempuan yang fotonya diunggah di akun tersebut tak jarang mendapat pesan atau gambar tidak senonoh di Direct Message-nya (cyberflashing). Lanskap ini sejalan dengan data Komnas Perempuan yang memaparkan bahwa tren KBGO di Indonesia mengalami peningkatan tiap tahunnya, bahkan di tahun 2020 melesat hingga 300% jika dibandingkan tahun 2019.
Potret ini menunjukkan bagaimana kekerasan kultural dapat melegitimasi terjadinya kekerasan langsung. Dari sini, sejatinya akun kampus cantik tidak bisa dilepaskan dari pelanggengan rape culture di lingkungan kampus. Rape culture sendiri sebuah fenomena yang berakar dari ketidakadilan gender dan berujung pada normalisasi terhadap kekerasan seksual dan pemerkosaan (Mkhize et.al, 2020).
Rape culture sendiri dapat dipahami dengan bentuk piramida, dimana kekerasan seksual dan pemerkosaan menempati pucuknya. Tetapi pucuk itu tidak berdiri sendiri, melainkan ia ditopang oleh struktur dibawahnya. Logika dari rape culture adalah apabila perbuatan di tingkatan struktur di bawahnya ditoleransi atau dilindungi, maka pada akhirnya pemerkosaan dapat menjadi perbuatan yang dapat terjadi di masyarakat (Cervix dan Chandra, 2017).
Pada tingkatan yang paling dasar, terdapat normalisasi. Perbuatan yang dalam tingkatan ini adalah komentar atau candaan seksis, catcalling, hingga cyberflashing. Sebagaimana telah dielaborasikan, akun kampus cantik menjadi tempat yang subur akan perbuatan-perbuatan tersebut.
Menanti Respon Kampus
Hingga saat ini, belum ada universitas yang secara institusional merilis penolakan terhadap keberadaan akun kampus cantik. Padahal tiap kali universitas mendiamkan fenomena ini, tersiratkan legitimasi atas pendegradasian martabat mahasiswi (apalagi akun-akun ini tak jarang menggunakan logo dan nama universitas). Tentu ruang gerak universitas terbatas karena fenomena tersebut terjadi di ruang digital. Namun, keterbatasan tersebut tak menanggalkan kewajibannya untuk merespon fenomena ini melalui sosialisasi hingga penyeruan mass reporting.
Kembali pada teori Galtung, penghapusan kekerasan langsung hanya dapat dilakukan dengan penghapusan kekerasan struktural dan kekerasan kultural. Secara struktural, elan penghapusan kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi mengalami gebrakan pasca disahkannya Permendikbud 30/2021, UU 12/2022 (UU TPKS), dan Permenag 73/2022.
Keberadaan Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) mustinya dapat menjadi piranti ampuh dalam mengubah kultur patriarkis yang masih berkelindan. Dalam hemat pandangan penulis, akun kampus cantik adalah hambatan besar dalam merealisasikan lingkungan ramah gender di perguruan tinggi.
Penulis: Pradnya Wicaksana (Dewan Pembina HopeHelps Local Chapter Universitas Airlangga)
*Tulisan ini merupakan versi pendek dari book chapter yang ditulis oleh penulis dan Wahyuning Mei Savira. Book chapter tersebut berjudul “Akun Media Sosial Kampus Cantik dan Kekerasan Kultural: Apa yang Bisa Dilakukan Kampus”, dan kini sedang dalam proses perilisan”