Universitas Airlangga Official Website

Ambivalensi Posisi Indonesia dalam Perang Rusia-Ukraina: Tensi Lama antara Prinsip Kedaulatan dan Kekeluargaan

Foto ilustrasi: CNN Indonesia
Foto ilustrasi: CNN Indonesia

Ketika invasi Rusia ke Ukraina memasuki tahun ketiga, posisi Indonesia dalam konflik ini tetap konsisten: keseimbangan antara komitmen historis terhadap kedaulatan dan kebijakan luar negeri pragmatisnya. Sejak awal perang pada bulan Februari 2022, Indonesia telah mengambil sikap ambivalen dengan mendukung integritas wilayah Ukraina sambil menghindari kecaman eksplisit terhadap Rusia. Ambivalensi ini menunjukkan dinamika kebijakan luar negeri Indonesia yang kompleks, terpecah antara norma mengenai “kedaulatan bagi semua” dan kebutuhan untuk menjaga hubungan dengan negara-negara besar.

Dalam tulisan terbarunya, Baiq Wardhani dan Radityo Dharmaputra menjelaskan posisi Indonesia yang sulit, menyoroti ambivalensinya dalam konteks perang Rusia-Ukraina, namun juga menekankan prinsip-prinsip kebijakan luar negeri Indonesia yang lebih luas dengan membandingkan posisi Indonesia dalam kasus Ukraina dan Palestina.

Tanggapan resmi Indonesia terhadap perang Rusia-Ukraina merupakan contoh klasik diplomasi yang amat berhati-hati. Meskipun Jakarta mendukung semua resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang mengutuk agresi Rusia, pemerintah tidak pernah secara eksplisit menyebut Rusia sebagai agresor. Kelalaian ini mencerminkan strategi “berdiam diri” dari sisi Indonesia, yaitu upaya untuk tetap netral dalam konflik internasional, dan menghindari keberpihakan pada negara-negara besar. Meskipun Indonesia mendukung integritas teritorial Ukraina, Indonesia tetap menyerukan perundingan perdamaian, menyamakan korban dengan agresor dalam upaya untuk melakukan mediasi.

Inti dari pendekatan hati-hati yang Indonesia lakukan adalah prinsip kedaulatan yang setara, yang merupakan nilai utama dalam kebijakan luar negeri Indonesia sejak merdeka pada tahun 1945. Sebagai anggota pendiri Gerakan Non-Blok (GNB), Indonesia telah memperjuangkan hak-hak negara-negara kecil dan secara konsisten menentang pelanggaran kedaulatan. Dalam konflik seperti invasi AS ke Irak atau sengketa Laut Cina Selatan, Indonesia mengambil sikap tegas dalam mempertahankan keutuhan wilayah. Namun, perang Rusia-Ukraina telah mengungkap keterbatasan prinsip ini dalam menghadapi persaingan negara-negara besar.

Meskipun sikap resmi Indonesia tetap netral, opini publik memberikan gambaran berbeda. Banyak masyarakat Indonesia, yang mendapatkan pengaruh sentimen anti-Barat dan ketidakpercayaan terhadap NATO, memandang tindakan Rusia di Ukraina sebagai respons sah terhadap ekspansi Barat. Platform media sosial di Indonesia, seperti X dan WhatsApp, penuh dengan narasi pro-Rusia, dan banyak masyarakat Indonesia yang menyalahkan ekspansi NATO ke wilayah Timur karena memprovokasi Rusia. Perbedaan antara kebijakan pemerintah dan sentimen publik telah memperumit posisi diplomatik Indonesia, karena pemerintah berupaya menyeimbangkan tekanan internasional dengan ekspektasi domestik.

Ambivalensi Indonesia juga tercermin dalam tindakannya di forum multilateral. Meskipun mendukung resolusi PBB yang mengutuk Rusia, Indonesia menentang pencabutan Rusia dari Dewan Hak Asasi Manusia dan tetap mengundang Rusia ke KTT G20 di Bali. Hal ini menyoroti pendekatan pragmatis Indonesia, yang berupaya menjaga hubungan diplomatik dengan Rusia dan negara-negara Barat, sekaligus menjunjung tinggi prinsip-prinsip inti multilateralisme dan penyelesaian konflik secara damai.

Salah satu faktor kunci yang membentuk respons Indonesia terhadap perang Rusia-Ukraina adalah pendekatan “kekeluargaan” dalam penyelesaian konflik. Berakar pada nilai-nilai budaya Indonesia, pendekatan ini menekankan pada negosiasi dan rekonsiliasi antara “bangsa-bangsa yang bersaudara” daripada konfrontasi terbuka.

Para pemimpin Indonesia secara konsisten mendorong dialog sebagai cara utama untuk menyelesaikan perselisihan, baik dalam konflik regional maupun di tingkat global. Preferensi terhadap penyelesaian damai, bahkan dalam kasus agresi, menjelaskan mengapa Indonesia tidak mengutuk keras Rusia dan malah berfokus pada memfasilitasi negosiasi.

Pendekatan kekeluargaan ini terlihat dalam kunjungan Presiden Joko Widodo ke Kyiv dan Moskow pada bulan Juni 2022. Sebagai pemimpin Asia pertama yang mengunjungi Ukraina selama perang, kunjungan Jokowi terbingkai sebagai misi perdamaian, yang bertujuan untuk mendorong dialog antara pihak-pihak yang bertikai. Selain itu, sejak dulu, dalam banyak konflik baik dengan negara tetangga Malaysia ataupun merespons konflik lain di antara Serbia-Kosovo serta aneksasi Krimea oleh Rusia, pemerintah Indonesia selalu mengedepankan pentingnya prinsip negosiasi antar saudara yang memiliki hubungan “kekeluargaan.”

Karena itu, ambivalensi Indonesia dalam perang Rusia-Ukraina terlihat sebagai bagian dari “paradoks kedaulatan” yang lebih luas. Di satu sisi, Indonesia secara konsisten mempertahankan prinsip kedaulatan teritorial dalam sengketa internasional, seperti penolakannya terhadap kemerdekaan Kosovo dan ketegasannya di Laut Cina Selatan. Di sisi lain, tanggapan negara tersebut terhadap perang Rusia-Ukraina lebih lemah, yang mencerminkan ketegangan antara komitmen negara tersebut terhadap kedaulatan dan kebutuhan pragmatisnya untuk menjaga fleksibilitas diplomatik.

Paradoks ini semakin dipertegas dengan keengganan Indonesia untuk mendukung penuh Ukraina seperti halnya Indonesia mendukung Palestina. Indonesia telah menjadi pendukung vokal kedaulatan Palestina dan secara konsisten mengutuk tindakan Israel di wilayah pendudukan. Namun, ketika menyangkut Ukraina, tanggapan Indonesia lebih terukur, karena pemerintah menghindari kritik langsung terhadap Rusia. Kesenjangan ini mencerminkan kompleksitas kebijakan luar negeri Indonesia, dimana norma persamaan kedaulatan diterapkan secara selektif berdasarkan pertimbangan geopolitik.

Sikap Indonesia terhadap perang Rusia-Ukraina merupakan cerminan dari tantangan kebijakan luar negeri yang lebih luas. Sebagai negara kekuatan menengah, Indonesia harus menavigasi arena internasional yang kompleks, menyeimbangkan komitmen historisnya terhadap kedaulatan dengan realitas persaingan negara-negara besar. Ambivalensinya dalam konflik Rusia-Ukraina menggarisbawahi ketegangan antara komitmen normatif dan kebutuhan pragmatis, seiring upaya mereka untuk mempertahankan perannya sebagai aktor netral dalam urusan global.

Penulis: Baiq L S W Wardhani & Radityohttps://unair.ac.id Dharmaputra

Informasi detail dapat dilihat pada tulisan kami di:

https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/13523260.2024.2397926