Universitas Airlangga Official Website

Analisis Ancaman dan Respon Keamanan Siber di Indonesia

Keamanan siber di Indonesia dipicu oleh dua kasus yang baru-baru ini terjadi di Indonesia. Kasus pertama berputar peretasan yang dilakukan oleh Bjorka, bertanggung jawab atas kebocoran data besar-besaran di Indonesia,1,3 miliar data kartu SIM, mengekspos data pribadi pejabat Indonesia seperti kepala Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) hingga Presiden Indonesia sendiri (Afifa 2022; Llewellyn 2022; Syahputra 2022). Selain insiden peretasan Bjorka, Kaspersky, perusahaan keamanan siber global, juga melaporkan bahwa 11 juta ancaman siber lainnya terdeteksi di Indonesia pada tahun 2022 (Bhwana 2022). Hal ini menunjukkan betapa mengkhawatirkannya masalah keamanan siber di Indonesia.

Dalam konteks keamanan siber, terdapat dua badan yang bertanggung jawab dalam sektor ini, yaitu Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) serta Tim Tanggap Insiden Keamanan Siber Indonesia pada Infrastruktur Internet/Pusat Koordinasi (id-SIRTII/CC). Kedua lembaga ini berada di bawah dua kementerian utama yang mengawasi sektor keamanan siber, yaitu Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam) dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) (Ibid:4). Selain itu, Indonesia juga memiliki dua peraturan hukum terkait kebijakan keamanan siber, yaitu Undang-Undang No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi dan UU ITE No. 11 Tahun 2008 (Anjani 2021).

Penelitian ini bertujuan melakukan survei terkait keamanan siber yang dipahami oleh masyarakat yang telah mendapat jawaban dari 328 responden. Hasil survei menunjukkan bahwa 64,9 persen responden menjawab bahwa mereka agak memahami isu keamanan siber, sementara 19,5 persen memahami, dan 15,5 persen responden menjawab tidak memahami. Terkait dengan tingkat pemahaman tentang privasi data dan risiko keamanan siber, hasilnya menunjukkan bahwa 53,4 persen responden agak memahami, 25,9 persen responden tidak memahami, dan 20,7 persen menyatakan bahwa mereka memahami masalah ini. Pertanyaan kemudian berlanjut pada pemahaman warga negara Indonesia tentang atribut hukum atau undang-undang mengenai keamanan siber di Indonesia, di mana 47 persen agak memahami, 46,6 persen tidak memahami, dan hanya 6,4 persen responden yang menjawab bahwa mereka memiliki pemahaman optimal mengenai hukum dan undang-undang keamanan siber.

Namun, temuan menarik sebanyak 88,7 persen responden percaya bahwa negara harus melindungi warga negara di dunia maya dan hal tersebut merupakan hak warga negara. Hanya 11,3 persen responden yang tidak mengetahui tentang hak tersebut. Selain itu juga sebagian besar responden percaya bahwa isu keamanan siber memiliki kepentingan yang setara dengan keamanan di dunia nyata, sebesar 85,7 persen.

Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia terus melaksanakan kegiatan Literasi Digital yang bertujuan untuk memberikan edukasi kepada masyarakat tentang keamanan dalam penggunaan media digital. Saat ini, kegiatan tersebut dilaksanakan di 514 kabupaten/kota di 34 provinsi di Indonesia, dengan target 12,4 juta peserta pada tahun 2021 dan 50 juta peserta pada tahun 2024.

Setidaknya ada lima saran dari publik kepada pemerintah terkait keamanan siber di Indonesia. Saran-saran ini diambil dari pertanyaan terbuka kepada responden. Pertama, melakukan sosialisasi yang jelas dan mudah dipahami oleh berbagai kelompok masyarakat secara konsisten dan transparan melalui media sosial (TikTok, Instagram, YouTube), iklan layanan masyarakat di televisi, media cetak (brosur, surat kabar, majalah), webinar, konseling, situs web pemerintah, pengintegrasian sosialisasi keamanan siber dalam kurikulum pendidikan, serta penggunaan influencer sebagai kader sosialisasi. Kedua, membuat payung hukum terkait keamanan siber, meninjau kembali regulasi yang ada, dan mengawasi secara ketat pelaksanaan aturan dengan mengambil tindakan atau memberi sanksi kepada pihak yang melanggar regulasi tersebut. Ketiga, meningkatkan infrastruktur teknologi informasi dan komunikasi (TIK) untuk mendukung sistem keamanan siber yang lebih kuat. Keempat, menyediakan pelatihan dan sertifikasi untuk tenaga profesional di bidang keamanan siber agar dapat meningkatkan kompetensi dan keterampilan mereka. Kelima, membangun kerjasama internasional dengan negara-negara lain untuk berbagi informasi dan strategi dalam menghadapi ancaman siber.

Penulis: Fadhila Inas Pratiwi, S.Hub.Int., M.A.

Source: Pratiwi, F. I., Hennida, C., Soesilowati, S., Berliantin, N., Ekasari, D. Y., Dewi, C. S., & Intan, A. A. (2024). Cybersecurity Challenges in Indonesia: Threat and Responses Analysis. Perspectives on Global Development and Technology22(3-4), 239-264. https://doi.org/10.1163/15691497-12341660