Universitas Airlangga Official Website

“Apakah Aku Pria yang Jantan?” Ketika Kejantanan di Pertanyakan dalam Kasus Infertilitas

Foto by GenSINDO

Mewujudkan sebuah keluarga dengan kehadiran buah hati adalah mimpi dari setiap pasangan yang menikah. Setiap kali pasangan selesai menikah, pertanyaan yang selalu ditanyakan adalah kapan memiliki momongan? Pertanyaan seperti ini kerap membuat pasangan dalam keadaan tertekan bahkan kadang meragukan dirinya sendiri. Kegagalan pasangan mendapatkan keturunan dalam dua belas bulan masa pernikahan dengan rutin berhubungan seksual tanpa menggunakan proteksi dikenal dengan istilah infertilitas. Penyebab infertilitas bisa oleh pria, wanita, atau keduanya.

Pria sebagai penyebab infertilitas memiliki “cerita tersendiri” jika dibandingkan wanita sebagai penyebabnya. Rata-rata di berbagai tempat, konstruksi sosial yang erat dengan pola patriat membuat wanita yang sering tertuduh sebagai penyebab infertilitas padahal pria juga bertanggung jawab terhadap infertilitas. Pria sebagai penyebab infertilitas dengan pola patriat sering sekali menyebabkan benturan dan masalah tambahan pada pria. Pria kerap sekali mulai mempertanyakan kejantananya ketika gagal menghamili istrinya sendiri. Pada beberapa komunitas, infertilitas memang dianggap seperti aib, dan ketika pria sebagai penyebab utamanya, pria kerap merasa rendah diri dan mencap dirinya sebagai pria yang gagal.

Berbicara tentang kejantanan, kata ini berhubungan dengan nilai-nilai maskulinitas yang dipegang teguh oleh  komunitas. Maskulin merupakan buah interaksi antara sosial, budaya, dan juga lokasi. Pencapaian maskulin didasarkan pada nilai-nilai dan konstruksi sosial yang terdapat dalam komunitas tertentu. Antara nilai maskulin dengan kesuburan sering sekali dikaitkan satu sama lain. Hal ini disebabkan karena kesuburan adalah merupakan produk dari seks, sedangan seks berhubungan dengan peranan dan identitas sex atau gender masing-masing. Alhasil pria yang datang dengan infertilitas akan sering berhadapan dengan pertanyaan “apakah mereka mengalami penuruna kejantanan?”

Studi kualitatif mengenai fenomena ini sudah banyak dikerjakan di berbagai macam lokasi di belahan dunia. Kami melakukan studi metasintesis terhadap studi-studi kualitatif terkait fenomena ini. Ada sekitar dua puluh empat studi yang layak untuk dilakukan telaah mengenai fenomena ini. Dua puluh empat studi tersebut berasal dari sebelas database di internet. Studi-studi dengan tema sejenis banyak dilakukan di benua Asia terutama timur-tengah, Afrika, sebagian Amerika dan Eropa. Negara-negara yang melakukan studi di benua Amerika dan Eropa uniknya melibatkan kelompok yang berasal dari Asia juga.

Hasil analisis dari dua puluh empat studi yang terlibat dalam metasintesis ini,  dilaporkan ada dua tema besar yang menjelaskan fenomena “maskulinitas dan kesuburan”. Tema pertama adalah persepsi dan keyakinan pribadi pria sendiri lalu tema kedua adalah nilai-nilai/norma dan harapan sosial terhadap pria sendiri.

Pada tema pertama, pria mengambarkan bahwa menjadi pria infertil sama halnya dengan tidak menjadi pria sama sekali. Pria infertil mengambarkan bahwa pada saat mereka infertil memang tidak ada yang menyalahkan mereka namun perasaan bersalah dan perasaan tidak menjadi pria seutuhnya muncul dalam benak mereka. Selain itu, Pria juga meyakini menjadi pria sama halnya menjadi ayah, keyakinan pribadi mereka mengambarkan bahwa status sebagai pria seharusnya sama dengan status sebagai ayah.

Lalu pada tema kedua, para pria menggambarkan tuntutan menghasilkan anak adalah sebuah mandat dari lingkungan sosial mereka tinggal, selain itu mereka juga menggambarkan pria yang infertil memang memiliki stigma negatif dan juga dianggap gagal memenuhi panggilan Tuhan atas hidup mereka. Hal menarik lainnya dari tema kedua ini adalah para pria menggambarkan nilai-nilai maskulinitas dalam infertilitas kadang berbenturan dengan paham feminisme yang saat ini juga sedang populer.

Dampak dari fenomena ini adalah kesehatan mental pria dengan infertil, tidak jarang pria-pria infertil mengalami depresi, kecemasan, dan gangguan seksual karena tuntutan yang berlebihan yang mereka rasakan terhadap peranan mereka sebagai pria dalam misi prokreasi. Studi ini bisa menjadi gambaran bagaiaman pria menjelaskan perasaan mereka menjadi pria infertil. Hasil ini bisa menjadi acuan bagi akademisi maupun praktisi untuk melihat lebih dalam bahwa ada kebutuhan empati bagi pria ketika mereka didiagnosis menjadi pria infertil. Penanganan yang holistik diperlukan dalam tatalaksan infertilitas.

Penulis: Cennikon Pakpahan

Jurnal: “Am I Masculine?” A metasynthesis of qualitative studies on traditional masculinity on infertility

Link: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/37008892/