Universitas Airlangga Official Website

Apakah Harga Diri Soal Status? Menguak Logika Budaya Kehormatan dari Perspektif Kelas Sosial

Ilustrasi Kelas Sosial (sumber: indonesiainside.id)
Ilustrasi Kelas Sosial (sumber: indonesiainside.id)

Mengapa orang kaya begitu menjaga nama baik, sementara mereka yang hidup pas-pasan bisa begitu sensitif terhadap penghinaan? Sebuah riset kolaboratif berskala global yang melibatkan lebih dari 13.000 partisipan dari 20 negara mencoba menjawab pertanyaan itu melalui lensa “budaya kehormatan” dan status sosial ekonomi (SES).

Budaya kehormatan adalah sistem nilai yang menekankan pentingnya reputasi dan harga diri di mata orang lain. Dalam masyarakat dengan budaya kehormatan kuat, harga diri bukan hanya soal perasaan pribadi, tetapi juga tentang bagaimana orang lain memandang Anda dan keluarga Anda. Riset ini menunjukkan bahwa kaitan antara budaya kehormatan dan status sosial tidaklah sesederhana yang kita kira.

Dua Hipotesis: Ancaman dari Bawah atau Ketakutan dari Atas?

Para peneliti menguji dua kemungkinan:

  • Hipotesis Ancaman (Threat Vulnerability Hypothesis): Orang-orang dari kelas sosial rendah lebih terpapar ancaman sosial dan ekonomi. Untuk melindungi diri, mereka mengembangkan sikap dan nilai kehormatan sebagai mekanisme pertahanan.
  • Hipotesis Keterikatan Status (Status Attachment Hypothesis): Justru mereka yang merasa berada di kelas sosial ataslah yang lebih terikat pada budaya kehormatan. Karena takut kehilangan status yang telah mereka raih, mereka lebih giat menjaga nama baik dan reputasi.
    Temuan Mengejutkan: Semakin Tinggi Status, Semakin Kuat Kehormatan

    Melalui lima studi berbeda di berbagai benua, para peneliti menemukan pola yang menarik: individu yang merasa memiliki status sosial tinggi lebih kuat menganut nilai-nilai kehormatan. Mereka lebih menjunjung tinggi nama baik keluarga, lebih siap membela harga diri, dan lebih sensitif terhadap penghinaan.

    Sebagai contoh, dalam Studi 1 yang dilakukan di kawasan Mediterania hingga Asia Timur, individu yang menilai dirinya berada di kelas atas (secara subjektif) lebih tinggi skor-nya dalam nilai membela kehormatan keluarga, bahkan juga dalam nilai agresi defensif dan promosi diri.

    Studi lanjutan di Asia Tenggara (termasuk Indonesia) juga menunjukkan bahwa mahasiswa yang merasa berasal dari kelas atas lebih menyetujui ideologi kehormatan maskulin—bahwa laki-laki harus membela keluarganya.

    Kelas Atas dan Strategi Reputasi

    Mengapa individu dari kelas atas justru lebih menganut budaya kehormatan? Penjelasannya mungkin terletak pada strategi sosial. Orang-orang di kelas atas memiliki modal sosial yang lebih besar—jaringan luas, posisi berpengaruh, dan sumber daya ekonomi. Menjaga reputasi menjadi cara untuk melindungi semua itu.

    Studi-studi terdahulu juga mendukung bahwa kelas atas lebih terobsesi pada status, prestasi, dan pandangan orang lain. Mereka mungkin lebih terdorong menjaga citra karena punya lebih banyak yang bisa hilang.

    Tapi Bagaimana dengan yang Miskin?

    Bukan berarti budaya kehormatan tidak hidup di kalangan kelas bawah. Dalam beberapa indikator, seperti “harga diri yang tergantung pada pandangan orang lain”, justru kelas bawah menunjukkan skor lebih tinggi. Hal ini mendukung sebagian dari Hipotesis Ancaman. Namun secara keseluruhan, dukungan terhadap budaya kehormatan lebih konsisten terlihat pada mereka yang menganggap dirinya berada di status sosial tinggi.

    Menariknya, saat ukuran SES dilakukan secara objektif (seperti pendapatan), hasilnya lebih beragam. Misalnya, mereka dengan pendapatan rendah lebih besar kemungkinan memiliki harga diri yang bergantung pada pengakuan sosial, menunjukkan bahwa tekanan dari luar tetap nyata.

    Konteks Budaya Sangat Berpengaruh

    Penelitian ini juga menyoroti bahwa konteks budaya sangat memengaruhi. Masyarakat di kawasan Mediterania, Asia Barat, dan Amerika Latin cenderung memiliki budaya kehormatan yang lebih kuat dibandingkan negara-negara Anglo Barat seperti Inggris atau AS bagian utara.

    Penelitian ini melampaui asumsi Barat yang sering hanya melihat harga diri sebagai sesuatu yang personal. Di banyak budaya, harga diri adalah soal reputasi sosial—dan itu berlaku makin kuat seiring naiknya status seseorang.

    Apa Implikasinya?

    Riset ini mengingatkan kita bahwa keinginan menjaga nama baik bukan hanya milik masyarakat “tradisional” atau “kurang berpendidikan”. Justru dalam dunia modern yang kompetitif, reputasi bisa menjadi mata uang yang sangat berharga. Bagi kelas atas, kehormatan adalah investasi sosial. Bagi kelas bawah, kehormatan bisa menjadi satu-satunya pelindung yang mereka punya.

    Dalam dunia yang makin terhubung secara sosial dan digital, nilai-nilai kehormatan justru tidak surut. Sebaliknya, ia tampil dalam bentuk baru: obsesi pada citra media sosial, reaksi keras terhadap kritik publik, dan semangat mempertahankan “brand diri”.

    Riset ini memberi kita cara baru memahami dinamika status dan kehormatan—bukan sebagai urusan siapa lebih baik, tetapi bagaimana orang beradaptasi dengan posisi mereka di masyarakat. Pada akhirnya, baik si miskin yang menjaga martabatnya, maupun si kaya yang takut jatuh statusnya, keduanya sedang mencari tempat aman dalam tatanan sosial yang terus berubah.


    Penulis: Dr. Rahkman Ardi

    Informasi detail dari riset ini dapat dilihat pada tulisan kami di:

    Sánchez-Rodríguez, Á., et al. (2025). Overcoming low status or maintaining high status? A multinational examination of the association between socioeconomic status and honour. British Journal of Social Psychology. https://doi.org/10.1111/bjso.12854