Universitas Airlangga Official Website

BI Institute Gandeng UNAIR Bahas Kebijakan Fiskal Islam

Bayu Arie Fianto SE MBA PhD saat pemaparan sesi dua di Seminar Flagship BI Institute di Ballroom 3, Hotel Tentrem, Yogyakarta pada Rabu (15/3/2023).

UNAIR NEWS – Usai penandatangan MoU perjanjian kerja sama program Kampus Merdeka antara Universitas Airlangga (UNAIR) dengan Bank Indonesia (BI) Institute pada Agustus 2020 silam, BI Institute kembali mengajak UNAIR berkolaborasi dalam Seminar Flagship. Acara tersebut diselenggarakan secara hybrid di Ballroom 3, Hotel Tentrem, Yogyakarta dan Zoom Meeting pada Rabu (15/3/2023).

Mengusung tema Inclusive and Innovative Growth: Islamic and ESG Principles on Resource Revenue Stream for Economic Sustainability, seminar ini bertujuan meningkatkan pemahaman mengenai relevansi prinsip syariah dan ESG dalam optimalisasi strategi ekonomi untuk negara yang kaya sumber daya alam. 

Demi mencapai tujuan tersebut, BI Institute mengundang Bayu Arie Fianto SE MBA PhD, selaku Kepala Departemen Ekonomi Islam UNAIR sekaligus ketua SDGs Center UNAIR, sebagai salah satu narasumber.

Dalam paparannya, Bayu menyampaikan bahwa Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menetapkan 216 indikator konkret untuk mengukur progres pencapaian SDGs di Indonesia. Indikator tersebut meliputi empat pilar utama, yakni sosial, ekonomi, lingkungan, serta hukum dan pemerintahan. Capaiannya pun cukup konstan, dimana sejak tahun 2015, tercatat 135 indikator atau sekitar 62,5 persen telah terpenuhi. Meski begitu, ia rasa kedepannya masih banyak PR yang harus dituntaskan.

“Angka guru bersertifikasi yang hanya 26 persen, permasalahan kualitas indeks air bersih, rasio kemiskinan yang masih tinggi, serta kebijakan diskriminatif dalam 12 bulan terakhir akan menjadi fokus kami setelah ini,” ucapnya. 

Diskusi yang dipandu oleh Associate Professor Qatar Foundation, Mohamed Eskandar Shah itu, membahas korelasi antara kebijakan fiskal Islam dengan pertumbuhan ekonomi global, khususnya negara yang memiliki potensi sumber daya alam. 

“Dalam hukum Islam sendiri, ada tiga sektor yang ‘haram’ dimiliki oleh swasta, di antaranya air, pangan, dan energi. Sebagai gantinya, karena menyangkut kemaslahatan bersama, hanya pemerintah yang memiliki wewenang untuk mengontrol sektor-sektor tersebut,” tutur Bayu. 

Sementara itu, pajak dalam kebijakan fiskal menuai kontroversi, lantaran sebagian muslim menganggap kebijakan tersebut tak adil dan seringkali salah sasaran. Adanya sistem zakat seolah menjawab keresahan mereka, karena selain dikumpulkan dari kelompok tertentu yang mampu secara finansial, zakat juga memiliki target yang spesifik.

“Menurut saya zakat adalah alternatif terbaik dalam redistribusi kekayaan, subjeknya jelas, objeknya jelas berdasarkan nisab dan haul, sasarannya pun jelas yakni 9 asnaf,” tutur Bayu.

Ia menambahkan bahwa pengelolaan fiskal harus sejalan dengan prinsip-prinsip Islam dan mengacu pada SDGs yang menekankan pada kesejahteraan kolektif. Adapun prinsip yang dimaksud adalah moderasi dalam penganggaran serta skala prioritas pengeluaran, dimana keduanya harus mendahulukan dharuriyat atau pemenuhan kebutuhan pokok yang meliputi lima aspek, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.

Selain itu, dalam upaya mendukung SDGs, pemerintah dapat mengintensifkan Badan Usaha Milik Negara, khususnya dalam mengelola sekaligus mendistribusikan sumber daya alam, sehingga nilai jualnya di pasar global lebih tinggi dan hasilnya dapat dinikmati seluruh rakyat Indonesia. Di sisi lain, pemerintah harus mulai tegas mengeliminasi dan mengevaluasi penerimaan dan pengeluaran negara yang tidak produktif.

“Terakhir, sebagai negara muslim terbesar di dunia, Indonesia perlu mengoptimalkan zakat dan wakaf yang merupakan salah satu instrumen fiskal terpenting terhadap roda perekonomian nasional,” tutupnya. (*)

Penulis: Yahya Ayash

Editor: Binti Q. Masruroh