Universitas Airlangga Official Website

Bitemarks: Jejak Mendalam dalam Kasus Kriminal dan Perannya dalam Odontologi Forensik

Foto oleh directorioodontologico.info

Odontologi forensik merupakan cabang ilmu kedokteran gigi yang menggabungkan pengetahuan kedokteran gigi dengan aspek hukum. Seorang dokter gigi forensik memiliki tanggung jawab besar dalam menganalisis barang bukti serta parameter identifikasi yang terkait dengan kondisi rongga mulut dan jaringan sekitarnya. Perannya sangat vital dalam banyak kasus kriminal. Sering kali membantu mengungkap misteri dalam penyelidikan karena gigi dianggap sebagai bukti yang sangat penting dalam konteks forensik.

Berbagai kasus kriminal kerap kali menunjukkan cedera di kepala, wajah, dan rongga mulut. Seperti kekerasan seksual, kekerasan terhadap anak, dan trauma akibat benda tumpul. Dalam konteks ini, pemeriksaan forensik diperlukan untuk menentukan jenis dan penyebab trauma, melakukan identifikasi korban dan pelaku tindak kejahatan. Salah satu bentuk trauma yang umum dijumpai dalam odontologi forensik adalah luka gigitan atau bitemarks. Luka ini terjadi karena aksi gigi dan jaringan rongga mulut lainnya, dan prinsip dasar identifikasi bitemark adalah mencocokkan luka gigitan yang ada dengan bekas gigitan yang dimiliki tersangka.

Dasar ilmiah dari identifikasi bitemark melibatkan keunikan karakteristik dan sifat individualitas gigi setiap individu. Bahkan pada kembar identik, karakteristik gigi dipastikan tidak akan sama. Luka bitemark sering kali terjadi dalam kasus pelecehan seksual, pembunuhan, dan penganiayaan anak, dan bisa terjadi pada orang hidup, mayat, atau benda mati. Lokasi umum luka bekas gigitan melibatkan wajah, leher, tangan, payudara, dan alat kelamin. Identifikasi ini menjadi penting dalam menyelesaikan berbagai kasus forensik.

Analisis jejak gigitan dimulai ketika terduga bahwa luka berpola ini disebabkan oleh gigitan. Tahap awal melibatkan penentuan apakah luka tersebut berasal dari gigitan dan apakah jejak gigitan tersebut dihasilkan oleh gigi manusia atau hewan. Setelah diketahui bahwa jejak gigitan berasal dari gigi manusia, langkah berikutnya adalah menganalisis untuk menentukan apakah gigitan tersebut dilakukan oleh anak, remaja, atau dewasa. Proses berlanjut dengan memastikan bahwa jejak gigitan yang ada memiliki kualitas yang cukup tinggi untuk studi lebih lanjut. Setelah selesai analisis jejak gigitan, langkah berikutnya adalah mencocokkan dengan individu yang diduga sebagai pelaku. Jika terbukti bahwa pola gigitan disebabkan oleh gigi manusia, bekas gigitan dan area sekitarnya perlu diambil swab untuk mendapatkan data DNA.
American Board of Forensic Odontology (ABFO) merekomendasikan berbagai bahan cetak jejak gigitan, termasuk aluwax, base plate wax, styrofoam, clay, dan kulit manusia. Penggunaan lilin gigi dipilih dalam beberapa penelitian karena kemampuannya merekam jejak gigitan yang menyerupai kulit manusia.

Studi oleh Daniel dan Pazhani menunjukkan bahwa analisis jejak gigitan pada coklat dan keju lebih akurat daripada pada apel. Namun, menggunakan makanan atau luka kulit sebagai media analisis memiliki kekurangan signifikan karena bukti jejak gigitan bersifat tidak permanen. Oleh karena itu, tim forensik memiliki waktu yang terbatas untuk menganalisisnya sebelum makanan membusuk atau luka kulit sembuh. Karena jejak gigitan adalah bukti forensik yang valid dan penting, evaluasi cepat diperlukan sebelum luka berpola sembuh pada kulit manusia atau membusuk pada makanan. Dalam konteks ini, jejak gigitan harus direkam atau duplikatkan sesegera mungkin. Analisis jejak gigitan, selain bergantung pada karakteristik gigi manusia, juga mengandalkan catatan gigi pada bahan gigitan. Untuk merangkum, diperlukan metode baru untuk mendapatkan bukti jejak gigitan yang permanen sambil mempermudah pengamatan.

Banyak perubahan terjadi dalam metode analisis ilmiah dan pengumpulan data di bidang odontologi forensik sebagai hasil dari kemajuan teknologi. Salah satu kemajuan adalah teknik pencitraan gigi, di mana metode gambar 2D seperti radiografi, foto, dan identifikasi visual digantikan oleh pemindai 3D untuk hasil yang lebih akurat. Hasilnya, teknologi 3D telah diterima secara klinis dan digunakan dalam metrologi dan pengukuran gigi. Pemindai intraoral, meskipun bermanfaat, seringkali memerlukan peralatan khusus yang mahal dan tidak selalu tersedia. Oleh karena itu, penggunaan smartphone sebagai pemindai 3D muncul sebagai alternatif yang lebih ekonomis dan praktis. Studi telah menunjukkan bahwa smartphone dapat digunakan untuk mengambil gambar 2D dari berbagai sudut, yang kemudian dapat diproses dengan perangkat lunak gratis untuk membuat model 3D. Hal ini membuka peluang baru untuk pemindaian model 3D yang lebih mudah dan hemat biaya.

Penulis: Arofi Kurniawan, drg., Ph.D
Diambil dari artikel jurnal internasional berjudul: Exploring the feasibility of smartphone cameras for 3D modelling of bite patterns in forensic dental identification
Artikel dapat diakses pada tautan berikut: https://doi.org/10.1016/j.legalmed.2024.102399