Sebagai salah satu bulan yang dikuduskan oleh umat Islam, Ramadan memiliki tempat tersendiri di hati milyaran umat Islam di seluruh dunia. Tuhan pun menjanjikan beragam kebaikan dan pelimpahan keberkahan bagi mereka yang memanfaatkan bulan ini untuk berlaku amal kebaikan. Tak dapat dipungkiri, janji Tuhan itu diamini oleh masyarakat muslim dengan melakukan beragam amal ibadah, baik amal yang bersifat ketuhanan, seperti salat dan berdzikir, hingga amal yang bersifat kemanusiaan, seperti berinfak dan bersedekah. Selain fenomena ibadah, bulan Ramadan memiliki keunikan tersendiri. Banyak kegiatan masyarakat yang hanya dilakukan di bulan tersebut namun tidak di bulan lainnya, seperti, pasar Ramadan yang digelar menjelang maghrib, kegiatan sahur on the road, hingga buka bersama (bukber).
Berbicara mengenai buka bersama, ternyata, kegiatan tersebut tidak hanya terjadi di Indonesia, kegiatan buka puasa bersama bahkan telah terlaksana di Gedung Putih, Amerika, tepatnya pada masa Presiden Bill Clinton dan dijadikannya kegiatan tahunan. Kegiatan ini juga dilakukan oleh Presiden Donald Trump untuk menjamu diplomat, mahasiswa, dan organisasi keislaman yang ada di Amerika Serikat.
Kegiatan buka bersama di Ramadan tahun ini menjadi cerita berbeda setelah dua tahun kegiatan tersebut tidak izinkan karena alasan pandemi. Berdasarkan survei yang dilaksanakan JakPat, dari 1085 responden, 61 persen menyatakan minat untuk melakukan buka bersama walaupun masih dalam kondisi pandemi. Survei ini dapat dijadikan indikator bahwa minat masyarakat untuk melakukan bukber khususnya di tahun ini masih tergolong besar, hal itu juga dapat ditinjau dari penuhnya hotel dan restoran di bulan Ramadan saat menjelang maghrib.
Namun, belakangan, eksistensi kegiatan bukber semakin jauh berbeda dengan dahulu. buka bersama yang seharusnya menjadi ajang silaturahmi, berdoa, temu kangen, hingga meningkatkan iman, justru menjadi ajang pamer di antara para peserta. Keberadaan media sosial dengan beragam fiturnya membuat kegiatan ini sangat manis untuk diabadikan dan dipamerkan, Setidaknya untuk membaharui (meng-update) cerita di sosial media, baik Instagram, WhatsApp, maupun TikTok. Dari sini saja sebenarnya kita sudah bisa meraba alasan mengapa buka bersama di masa ini tidak selamanya berbuah manis, justru mendatangkan rasa ketidakpercayaan diri atau insecurity selepas acara berlangsung.
Yang pertama, sebagai ajang flexing atau pamer. Hal itu nampak dari tema busana (dress code) yang disyaratkan ketika acara berlangsung. Dengan alasan kekompakan, tak jarang penggunaan busana yang senada justru dimanfaatkan oleh sebagian orang untuk memamerkan busana yang digunakan. Belakangan ini viral di media sosial TikTok, video yang menggambarkan memberikan rating dari satu hingga sepuluh terhadap busana yang dikenakan oleh peserta bukber. Dalam video ini digambarkan peserta bukber difoto atau divideo seluruh badan, lantas sang pembuat video memberikan nilai atas busana yang dikenakan. Tak jarang, mereka yang menggunakan busana yang dianggap “jelek” diberikan nilai rendah.
Selain penggunaan tema busana, ajang bukber pun sering dimanfaatkan sebagai ranah untuk memamerkan pencapaian. Wajar saja, acara ini biasanya digunakan pula sebagai ajang reuni teman lama. Budaya saling tukar kartu nama saat bukber, menjadi ajang unjuk kebolehan diri. Hal ini pun dipicu oleh banyaknya perusahaan start-up yang memberikan nama jabatan yang cukup prestius kepada pegawai barunya. Seperti contoh, beberapa perusahaan telah mengganti istilah kasir dengan manajer keuangan, dan sebagainya. Hal ini tentunya membuat nama jabatan terlihat semakin keren.
Kedua, sebagai tempat ghibah. Fenomena ini memang tidak hanya terjadi ketika buka bersama. Namun, apakah pantas di momen Ramadan yang seharusnya dipenuhi dengan kebaikan untuk meraih janji Tuhan justru dimanfaatkan untuk menggunjing orang lain? fenomena ini memang lumrah di masyarakat, bagaimana tidak, saat waktu menjelang berbuka, bukannya dimanfaatkan untuk bermunajat justru dimanfaatkan untuk bergunjing dan berfoto ria.
Ketiga, melalaikan waktu salat. Hal ini sangat lumrah terjadi ketika bukber diadakan di suatu tempat seperti hotel ataupun rumah makan dan dikonsep sedemikian mewah. Bagaimana tidak, waktu maghrib yang cenderung singkat membuat para peserta tidak sempat untuk menunaikan salat maghrib, walaupun sempat, mungkin sudah mepet dengan waktu isya. Kaum hawa pun demikian, mereka tidak rela membasahi dan melunturkan riasan wajah untuk berwudhu padahal sesi foto bersama belum terlaksana. Mereka yang menggunakan busana jas maupun dress, agaknya cukup dibuat kesulitan untuk “sekadar” melaksanakan salat.
Maka, tidak jarang buka bersama yang notabene untuk mendulang pahala dengan mempererat ukhuwah (persaudaraan) justru ditimpa dengan dosa karena tidak menjalankan kewajiban Tuhan. Lalu, apa sebenarnya yang diharapkan dari bukber dengan konsep demikian? Niat hati ingin menguatkan batin, selepas acara justru mengganggu batin dan mendatangkan insecurity karena melihat flexing dari teman sejawat.
Penulis: Afrizal Naufal Ghani (Mahasiswa Ekonomi Islam UNAIR)