Universitas Airlangga Official Website

Cedera Otak Traumatis pada Kehamilan

Foto oleh medika.life

Trauma saat ini menjadi penyebab utama kematian non-obstetri pada ibu hamil. Walaupun kejadiannya belum diketahui secara pasti. Trauma diperkirakan menjadi penyulit 1 dari 12 kehamilan. 0,3 persen wanita hamil yang memerlukan perawatan di rumah sakit disebabkan oleh trauma. Insidensinya meningkat seiring bertambahnya usia kehamilan, di mana lebih dari separuh trauma selama kehamilan terjadi pada trimester ketiga. Cedera umum yang paling banyak terjadi dalam kehamilan adalah kecelakaan kendaraan bermotor, terjatuh, luka akibat kekerasan, dan luka bakar. Di negara berkembang, cedera otak traumatis (TBI) merupakan faktor penyebab utama kematian non-obstetrik di kalangan ibu hamil.

Trauma dikaitkan tidak hanya pada ibu, tetapi juga morbiditas dan mortalitas pada janin. Telah dilaporkan bahwa trauma meningkatkan kejadian abortus spontan (SAB), ketuban pecah dini (PPROM), kelahiran prematur, ruptur uteri, persalinan sesar, solusio plasenta, dan lahir mati. Angka kematian janin setelah trauma maternal adalah 3,4 hingga 38 persen, sebagian besar adalah karena solusio plasenta, syok, dan kematian ibu.

TBI merupakan prioritas kesehatan global yang penting. TBI menyebabkan masalah kesehatan dan bahkan kecacatan bagi pasien dan keluarga mereka serta merupakan beban bagi sistem kesehatan dan ekonomi melalui hilangnya produktivitas dan biaya perawatan kesehatan yang tinggi. Meskipun TBI adalah penyebab utama kematian ibu, terutama di negara-negara berkembang, insiden yang tepat masih belum pasti. Hal ini mungkin karena kurangnya dokumentasi atau pencatatan, terutama untuk TBI yang ringan. Dalam kasus kehamilan dini, hal ini mungkin tidak diperhatikan atau mungkin diabaikan.

Belum ada pedoman khusus untuk penatalaksanaan TBI pada kehamilan. Namun demikian, prioritas perawatan awal untuk pasien hamil yang mengalami cedera tetap sama seperti pada pasien yang tidak hamil. Perawatan awal terbaik untuk janin adalah dengan memberikan resusitasi yang optimal pada sang ibu.

Untuk memberikan kontribusi dalam bidang ini, sebuah tinjauan sistematis dilakukan oleh Al Fauzi dkk., (2023) dari Universitas Airlangga – RSUD Dr. Soetomo Surabaya, penelitian yang telah diterbitkan dalam Journal of Clinical Neuroscience (Elsevier) ini bertujuan untuk meninjau laporan dan seri kasus dari tahun 1990 hingga 2020 tentang karakteristik, luaran, dan pendekatan penatalaksanaan TBI selama kehamilan.

Pemilihan artikel dilakukan dengan pedoman metode PRISMA-P (Preferred Reporting Items for Systematic Review and Meta-Analysis Protocol) 2015. Data dikumpulkan dari PubMed, ScienceDirect, dan berbagai sumber lainnya (The Cochrane library dan google scholar). Para penulis secara sistematis mencari literatur untuk mengidentifikasi artikel yang relevan melalui ScienceDirect, PubMed, dan sumber lain untuk artikel yang diterbitkan sejak Januari 1990 hingga Juni 2020. Karena keterbatasan data, para penulis kemudian memperluas pencarian jurnal dari sumber lain yang tidak dipublikasikan dalam database bibliografi, termasuk jurnal dalam bahasa Indonesia, prosiding, dan abstrak. Mereka juga melakukan pencarian manual untuk referensi yang tercantum dalam artikel yang relevan untuk mengidentifikasi artikel tambahan dan meminimalkan bias.

Pencarian literatur menghasilkan 22 artikel dengan total 43 pasien. Penulis membedakan operasi caesar (C-section) berdasarkan waktunya sesuai dengan perawatan bedah saraf menjadi kelompok primer (simultan atau sebelum bedah saraf) dan kelompok sekunder (C-section tertunda). Nilai rata-rata Glasgow Outcome Scale (GOS) pada operasi caesar primer lebih baik dibandingkan dengan operasi caesar sekunder pada kelompok TBI berat (masing-masing 3,57 ± 1,47 vs. 3,0 ± 1,27), konsisten dengan kelompok TBI sedang (masing-masing 4,33 ± 1,11 vs .3,62 ± 1,47). Sedangkan tingkat kematian janin pada operasi caesar primer lebih rendah dibandingkan dengan operasi caesar sekunder pada kelompok TBI berat (masing-masing 14,2% vs 33,3%), berbeda dengan kelompok TBI sedang (masing-masing 16,7% vs 12,5%).

Pada akhirnya, penelitian ini mengungkapkan bahwa cedera otak traumatis selama kehamilan, bahkan yang ringan sekalipun, dapat memberikan tantangan unik di bidang medis karena ada dua nyawa yang berpotensi mengalami risiko, yang mana keduanya memerlukan evaluasi dan penanganan. Masalahnya dikaitkan dengan konsekuensi sistemik dan serebral dari hematoma yang berkembang pesat, tekanan intrakranial yang tinggi, hipotensi, anoksia, atau anemia. Selain itu, prosedur diagnostik dan obat-obatan pun dapat menambah efek sekunder yang berbahaya bagi viabilitas janin.

Tinjauan ini menunjukkan bahwa pasien TBI dengan gawat janin pada presentasi awal dapat meningkatkan risiko kematian ibu dibandingkan dengan mereka yang tidak mengalami gawat janin. Gawat janin dan solusio plasenta berhubungan dengan cedera yang lebih parah; dengan demikian, hal itu juga meningkatkan risiko morbiditas dan mortalitas ibu pada pasien TBI berat dan sedang. Kajian ini juga menunjukkan bahwa keparahan TBI tidak terkait dengan angka kematian janin.

Pasien hamil dengan TBI sering memerlukan pendekatan multidisiplin yang melibatkan ahli bedah saraf, dokter kandungan, ahli anestesi, dan ahli neonatologi untuk mencapai luaran yang baik, tak hanya bagi sang ibu, namun juga untuk si bayi. Kunci untuk mencapai luaran yang optimal adalah dengan melibatkan semua pihak di atas untuk mengoptimalkan strategi perawatan berdasarkan kasus yang dihadapi dengan mempertimbangkan pengalaman sebelumnya di berbagai pusat kesehatan.

Penulis: Dr. Asra Al Fauzi, dr., Sp.BS.

Link: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/36527810/